Karya Fenomenal Filsuf dan Cendekiawan Muslim yang Terinspirasi oleh Plato dan Aristoteles
- Image Creator Bing/Handoko
Ibnu Sina (980-1037 M) atau yang lebih dikenal dengan nama Latin Avicenna, adalah salah satu filsuf terbesar yang mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dengan doktrin Islam. Karyanya yang paling terkenal, "Kitab al-Shifa" (Buku Penyembuhan), adalah sebuah karya encyklopedic yang membahas berbagai disiplin ilmu, termasuk metafisika, logika, etika, dan ilmu alam, yang menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan pandangan teologis Islam.
Ibnu Sina juga mengembangkan pandangan mengenai "wujud" yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Dalam pandangan Aristotelian, "wujud" adalah segala sesuatu yang ada, dan untuk memahami wujud, seseorang harus memahami penyebab-penyebab yang mengarah pada keberadaan sesuatu. Ibnu Sina menyempurnakan konsep ini dengan pandangannya tentang "wujud yang ada" (wujud mumkin) dan "wujud yang wajib ada" (wujud wajib), yang membedakan antara Tuhan sebagai wujud yang wajib ada dan ciptaan sebagai wujud yang mungkin ada.
Dalam "Kitab al-Najat" (Buku Penyelamatan), Ibnu Sina juga mengembangkan teori tentang jiwa, pengetahuan, dan eksistensi yang menggali lebih dalam tentang hubungan antara pikiran manusia dan dunia luar, yang juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Aristoteles.
3. Al-Ghazali dan Kritik terhadap Filsafat Aristotelian
Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah salah satu filsuf Muslim terbesar yang terkenal karena kritiknya terhadap filsafat Aristoteles dan rasionalisme yang berkembang pada masa itu. Meskipun Al-Ghazali mengakui pentingnya logika Aristotelian, ia menentang pemikiran rasionalisme murni yang memisahkan Tuhan dari dunia fisik.
Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat Aristoteles terutama tercermin dalam karyanya yang paling terkenal, "Tahafut al-Falasifah" (Kehancuran Para Filsuf), di mana ia menuduh para filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Islam. Ia berpendapat bahwa banyak konsep yang diambil dari filsafat Yunani, seperti konsep takdir dan penyebab pertama, bertentangan dengan keyakinan Islam tentang kehendak bebas manusia dan kebesaran Tuhan.
Al-Ghazali juga menekankan pentingnya pengalaman mistik dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan yang sejati, yang menjadi kritik terhadap dominasi rasionalisme yang dianut oleh banyak filsuf Muslim pada masa itu. Meskipun demikian, pengaruh Al-Ghazali terhadap perkembangan filsafat Islam sangat besar, terutama dalam menghubungkan rasionalitas dengan spiritualitas.