Eudaimonia: Mengungkap Formula Kebahagiaan Sejati Menurut Aristoteles
- Handoko/Istimewa
Jakarta, WISATA - Dalam pencarian kebahagiaan, banyak orang mencari jawaban melalui berbagai cara—dari pencapaian material hingga kesenangan fisik. Namun, lebih dari dua ribu tahun yang lalu, seorang filsuf Yunani kuno bernama Aristoteles menawarkan pandangan yang jauh lebih mendalam tentang apa yang sebenarnya membuat manusia bahagia. Konsepnya yang dikenal sebagai Eudaimonia menjadi salah satu kontribusi terbesarnya dalam filsafat etika dan moral.
Bagi Aristoteles, kebahagiaan atau Eudaimonia tidak sekadar mencerminkan perasaan senang atau puas sesaat. Eudaimonia adalah sebuah kondisi ideal di mana seseorang menjalani kehidupan yang baik dan bermakna, sejalan dengan nilai-nilai kebajikan. Dalam pandangan Aristoteles, kebahagiaan sejati adalah hasil dari proses internal dan berkesinambungan yang mencakup pertumbuhan moral dan intelektual, serta pencapaian potensi penuh sebagai manusia.
Lebih dari sekadar hidup bahagia di permukaan, Eudaimonia adalah bentuk kebahagiaan yang tercapai ketika seseorang berhasil menjalani kehidupan yang utuh, bermoral, dan benar secara etis. Melalui konsep ini, Aristoteles ingin mengajak kita untuk memandang kebahagiaan tidak hanya sebagai tujuan akhir, tetapi juga sebagai sesuatu yang hadir ketika kita menjalani kehidupan yang berkebajikan, berpikiran baik, dan berperan aktif dalam masyarakat.
Eudaimonia: Kebahagiaan Sebagai Hidup yang Bermakna
Istilah Eudaimonia berasal dari kata Yunani "eu" yang berarti baik, dan "daimon" yang berarti roh atau semangat. Secara harfiah, Eudaimonia bisa diartikan sebagai “kesejahteraan jiwa” atau "keberhasilan hidup" yang ditandai dengan pencapaian keunggulan moral dan pengembangan karakter. Namun, konsep ini melampaui makna literal tersebut dan berbicara tentang kondisi kehidupan yang optimal.
Berbeda dari pemahaman modern tentang kebahagiaan yang seringkali terkait dengan kepuasan pribadi atau keberuntungan, Eudaimonia menurut Aristoteles mengacu pada kondisi batin yang stabil dan berkelanjutan. Hal ini hanya dapat dicapai jika seseorang berhasil hidup dengan kebajikan moral, bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, serta menggunakan akal budi secara bijaksana.
Aristoteles meyakini bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang dijalani dengan memenuhi potensi terbaik yang dimiliki setiap individu. Ini bukan hanya tentang menjadi kaya, terkenal, atau mendapatkan kekuasaan, tetapi tentang mencapai keseimbangan dalam hidup, berperan sebagai anggota masyarakat yang baik, serta mampu memanfaatkan kemampuan rasional secara maksimal.