YOLO dan FOMO: Mengapa Keduanya Menjadi Musuh Kesehatan Mental Generasi Z?
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Di tengah arus perkembangan teknologi dan gaya hidup modern, istilah-istilah seperti YOLO (You Only Live Once) dan FOMO (Fear of Missing Out) semakin sering kita dengar, terutama di kalangan Generasi Z. Sementara kedua fenomena ini menawarkan semangat untuk menikmati hidup, kenyataannya, keduanya bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental generasi muda. Mari kita telusuri bagaimana YOLO dan FOMO memengaruhi kesejahteraan mental Generasi Z.
Memahami YOLO dan FOMO
- YOLO (You Only Live Once) mendorong individu untuk mengambil risiko dan menikmati hidup sepenuhnya tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang. Filosofi ini sering kali diartikan sebagai dorongan untuk menghabiskan uang dan melakukan tindakan impulsif demi kepuasan instan.
- FOMO (Fear of Missing Out) adalah rasa cemas yang muncul ketika seseorang merasa ketinggalan dalam pengalaman sosial, acara, atau tren yang sedang populer. FOMO sering kali diperparah oleh media sosial, di mana pengguna dapat melihat teman-teman mereka berpartisipasi dalam aktivitas yang menarik.
Dampak YOLO dan FOMO Terhadap Kesehatan Mental
- Kecemasan dan Stres Kedua fenomena ini seringkali menciptakan tekanan untuk selalu terlibat dalam setiap pengalaman sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas di New Hampshire menunjukkan bahwa individu dengan tingkat FOMO yang tinggi cenderung mengalami stres dan kecemasan yang lebih besar. Kecemasan ini muncul karena ketidakpastian tentang apakah mereka membuat keputusan yang tepat dalam hidup.
- Perilaku Konsumtif yang Berlebihan Dengan semangat YOLO, banyak orang merasa perlu untuk mengeluarkan uang untuk barang dan pengalaman yang mungkin tidak mereka butuhkan. Sebuah survei oleh National Endowment for Financial Education menunjukkan bahwa 75% anak muda mengalami kesulitan finansial karena pengeluaran impulsif yang dipicu oleh semangat YOLO.
- Kesehatan Mental yang Buruk Kombinasi antara YOLO dan FOMO dapat menyebabkan perasaan tidak puas dan kehilangan. Generasi Z sering kali merasa bahwa mereka harus terus-menerus mengejar pengalaman baru untuk merasa berharga. Hal ini dapat menyebabkan depresi dan perasaan isolasi. Data dari American Psychological Association menunjukkan bahwa hampir 50% remaja melaporkan gejala depresi akibat tekanan sosial yang muncul dari FOMO.
Menghadapi YOLO dan FOMO
Menyadari dampak negatif dari YOLO dan FOMO adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah ini. Beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh generasi muda untuk mengurangi dampaknya meliputi:
- Menetapkan Batasan Penting bagi individu untuk menetapkan batasan pada penggunaan media sosial dan pengeluaran. Dengan mengontrol ekspektasi diri sendiri, mereka dapat mengurangi rasa tekanan untuk selalu tampil sempurna.
- Fokus pada Kesehatan Mental Mengedukasi diri tentang pentingnya kesehatan mental dan menghabiskan waktu untuk diri sendiri dapat membantu mengurangi dampak dari YOLO dan FOMO. Mencari dukungan dari teman dan keluarga juga sangat penting.
- Menciptakan Pengalaman Nyata Alih-alih terjebak dalam pengalaman virtual, Generasi Z harus didorong untuk menciptakan pengalaman nyata yang memberi makna dalam hidup mereka. Kegiatan seperti berkumpul dengan teman, berolahraga, atau mengikuti hobi bisa menjadi alternatif yang lebih sehat.
YOLO dan FOMO mungkin terdengar seperti slogan positif untuk menjalani hidup, namun keduanya dapat menjadi musuh serius bagi kesehatan mental Generasi Z. Penting bagi individu dan masyarakat untuk menyadari dampak negatif dari kedua fenomena ini dan mencari cara untuk mengurangi tekanan yang muncul. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat membantu generasi muda menjalani hidup yang lebih seimbang dan bermakna.