Einstein, AI, dan Posisi Agama di Era Teknologi: Menjawab Tantangan Nilai-Nilai Lama
- Nautis
Jakarta, WISATA - Dalam satu abad terakhir, teknologi telah merubah cara hidup manusia dengan kecepatan yang luar biasa. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) menandai puncak dari revolusi ini. Namun, di tengah kemajuan yang tak terelakkan ini, muncul pertanyaan mendalam: Apakah teknologi, khususnya AI, akan mengancam keberadaan nilai-nilai lama, termasuk agama?
Albert Einstein, salah satu tokoh besar dalam ilmu pengetahuan modern, pernah menyatakan bahwa "ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh." Kutipan ini menjadi relevan di tengah kecemasan bahwa AI, dengan kecerdasannya yang terus berkembang, dapat menggantikan peran agama atau tradisi dalam kehidupan manusia. Apakah itu benar? Mari kita telusuri lebih dalam.
AI: Alat atau Ancaman?
Kehadiran AI sering kali disalahpahami sebagai sesuatu yang memiliki tujuan atau kesadaran tersendiri. Padahal, AI hanyalah alat yang dirancang untuk memproses data dan membantu manusia menyelesaikan berbagai masalah. AI tidak memiliki moralitas, kesadaran, atau keinginan untuk mengubah sistem nilai yang telah ada.
Namun, penggunaan AI oleh manusia memunculkan dilema etika. Jika dikelola dengan buruk, teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan destruktif, seperti menyebarkan propaganda, menciptakan ketidaksetaraan, atau bahkan menantang nilai-nilai moral dan spiritual yang telah lama dianut. Oleh karena itu, AI bukanlah ancaman inheren; ancaman sebenarnya adalah bagaimana manusia menggunakannya.
Agama di Era Teknologi
Sepanjang sejarah, agama selalu berhasil beradaptasi dengan perubahan teknologi. Dari penggunaan percetakan untuk menyebarkan kitab suci hingga siaran televisi yang menyiarkan khotbah, teknologi sering kali menjadi medium baru untuk memperkuat pesan agama.