Sokrates: Sejarah Pengadilan dan Dampaknya terhadap Demokrasi Athena

Kematian Socrates
Sumber :
  • Wikipedia

Jakarta, WISATA - Athena, kota yang dikenal sebagai pusat kebudayaan dan demokrasi pada zaman Yunani Kuno, mengalami gejolak politik yang signifikan pada abad ke-4 SM. Salah satu peristiwa paling menonjol dari era ini adalah pengadilan dan hukuman mati Sokrates, seorang filsuf besar yang dituduh merusak pikiran anak muda dan tidak mempercayai dewa-dewa kota. Artikel ini akan mengulas latar belakang politik yang melingkupi pengadilan tersebut, tuduhan yang diajukan, jalannya pengadilan, serta dampaknya terhadap masyarakat dan demokrasi Athena.

Plato - Orang yang Bijak Berbicara Karena Mereka Memiliki Sesuatu untuk Dikatakan; Orang Bodoh …

Latar Belakang Politik

Pada akhir abad ke-5 SM, Athena mengalami kekalahan dalam Perang Peloponnesos melawan Sparta. Kekalahan ini membawa Athena ke dalam periode kekacauan dan ketidakstabilan politik. Selama periode ini, "Tiga Puluh Tiran" mengambil alih kekuasaan dan mengakhiri sistem demokrasi Athena. Namun, pemerintahan para tiran ini tidak berlangsung lama. Setelah kekalahan mereka, demokrasi kembali ditegakkan di Athena. Dalam situasi politik yang tegang inilah, Sokrates mulai menjadi sorotan.

Inspirasi Terbaik dari Socrates dan Plato tentang Moralitas, Kebajikan, dan Kebijaksanaan

Tuduhan terhadap Sokrates

Sokrates dituduh atas dua hal utama:

9 Kutipan Terbaik dari Socrates dan Plato tentang Etika yang Masih Relevan Hingga Saat Ini

1.    Hubungan dengan Para Tiran: Ada kecurigaan bahwa Sokrates memiliki hubungan dengan beberapa tiran yang pernah berkuasa di Athena. Meskipun tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim ini, tuduhan tersebut cukup untuk menimbulkan kecurigaan di kalangan warga Athena.

2.    Merusak Pikiran Anak Muda: Sokrates dianggap merusak pikiran anak muda dengan mengajarkan mereka untuk mempertanyakan segala sesuatu, termasuk tradisi dan kepercayaan lama. Ajarannya yang kritis dianggap berbahaya bagi stabilitas sosial dan politik kota.

Jalannya Pengadilan

Pengadilan Sokrates berlangsung pada tahun 399 SM, dengan 500 anggota juri yang bertugas menentukan nasibnya. Dalam pengadilan ini, Sokrates ditawari kesempatan untuk melarikan diri atau menerima pengasingan, namun ia menolak kedua opsi tersebut. Sebagai gantinya, Sokrates memilih untuk menghadapi hukuman mati dengan kepala tegak.

Pembelaan Sokrates: Apology

Selama pengadilan, Sokrates menyampaikan pidato pembelaannya yang kemudian dikenal sebagai "Apology". Pidato ini ditulis oleh muridnya, Plato, yang hadir di persidangan. Dalam pembelaannya, Sokrates menegaskan bahwa ia tidak bersalah dan bahwa misinya adalah untuk mencari kebenaran dan mendorong warga Athena untuk berpikir kritis. Ia juga menekankan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, karena tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelahnya.

Dampak Pengadilan Sokrates

Hukuman mati Sokrates menandai titik balik penting dalam sejarah Athena. Keputusan untuk menghukum mati seorang filsuf yang dihormati menunjukkan ketidakstabilan dan ketakutan yang mendalam di antara warga Athena. Peristiwa ini juga memicu diskusi panjang tentang kebebasan berbicara dan tanggung jawab intelektual dalam masyarakat demokratis.

Pengaruh buruk yang dirasakan anak muda akibat ajaran Sokrates yang kritis terhadap tradisi, serta hubungan yang dicurigai antara Sokrates dan para tiran, menambah beban tuduhan terhadapnya. Namun, melalui pembelaannya yang berani dan konsisten, Sokrates berhasil meninggalkan warisan yang abadi dalam dunia filsafat dan demokrasi.

Pengadilan Sokrates merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Yunani Kuno, yang menunjukkan bagaimana ketidakstabilan politik dapat mempengaruhi keputusan hukum dan moral masyarakat. Melalui pengadilan ini, kita dapat belajar tentang pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara dalam sebuah masyarakat demokratis. Warisan Sokrates tetap hidup melalui ajaran-ajarannya yang terus dipelajari dan dihormati hingga hari ini.