Mengenal Chairil Anwar Lewat Puisinya “Aku”
- asumsi.co
Makassar, WISATA – Bagi penyuka puisi, tentu tak asing dengan nama Chairil Anwar. Ia adalah penyair terkemuka Indonesia yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan wafat pada tanggal 28 Apri 1949 pada usia 27 tahun.
Semasa hidupnya, Chairil Anwar sudah menghasilkan sebanyak 96 karya dan 72 di antaranya adalah puisi asli, 2 puisi saduran, 11 puisi terjemahan, 7 prosa asli dan 4 prosa terjemahan.
Kehidupan masa kecilnya tidak pernah kekurangan. Chairil adalah anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, dan ayahandanya pernah menjabat sebagai bupati Inderagiri, Riau. Namun jiwa seniman memang telah bersemi dalam wataknya yang keras.
Chairil mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yaitu sekolah dasar bagi orang pribumi di masa penjajahan Belanda. Setelah itu, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Medan dan sempat melanjutkan ke MULO Batavia (Jakarta) saat ia harus ikut ibunya pindah karena kedua orang tuanya bercerai.
Meski tidak sempat menamatkan pendidikannya di MULO, Chairil muda adalah seorang pelajar otodidak yang brilian. Ia juga membaca buku-buku dari sekolah Hogere Burger School (HBS), yaitu sekolah menengah umum yang bahasa pengantarnya Bahasa Belanda. Ia juga mempelajari banyak bahasa seperti Bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, sehingga ia bisa menerjemahkan beberapa puisi dan prosa karya sastra dunia.
Nama Chairil mulai dikenal saat ia berumur 20 tahun melalui karyanya yang berjudul “Nisan”, yang dimuat di harian Pandji Pustaka. Meskipun di kemudian hari ia dikenal sebagai Bapak Puisi Indonesia, namun di awal kariernya tidak semua puisinya dimuat, karena dianggap mengandung pemberontakan terhadap pemerintah Jepang yang waktu itu berkuasa di Indonesia.
Salah satu puisinya yang paling terkenal adalah “Aku” yang sangat kental nuansa pemberontakannya. Satu kalimat yang sangat terkenal dari puisi tersebut adalah “Aku ini binatang jalang,” menunjukkan watak Chairil yang keras dan tidak suka diatur-atur.
Begini bunyi puisi “Aku” secara lengkap:
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari, berlari
Hingga hilang pedih, perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi “Aku” dianggap sangat mewakili karakter Chairil yang tidak mau diatur-atur dan hidup sesuai kehendaknya. Melalui puisi tersebut, Chairil mendapatkan julukan “si binatang jalang,” di kalangan teman-temannya. Puisi “Aku” masih sering dibaca di acara lomba-lomba memeringati hari kemerdekaan Indonesia, karena menunjukkan semangat dalam melawan penjajahan