Kepahlawanan, Dewa, dan Takdir: Inilah Inti Cerita Epik Iliad yang Jarang Diketahui
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Dalam dunia sastra klasik, Iliad karya Homer sering dianggap sebagai simbol dari puisi epik dan perang kuno. Tapi sejatinya, karya yang ditulis lebih dari 2.700 tahun lalu ini jauh lebih kompleks dari sekadar kisah pertempuran antara bangsa Yunani dan Troya. Iliad adalah refleksi mendalam tentang kehormatan, kemarahan, cinta, kematian, dan takdir manusia dalam cengkeraman kekuatan yang lebih besar.
Dibuka dengan kalimat legendaris, “Nyanyikanlah, wahai Dewi, kemarahan Achilles…”, puisi ini menyorot sebuah perang besar yang menjadi latar, namun justru memusatkan ceritanya pada emosi manusia. Banyak pembaca modern hanya mengetahui bahwa Iliad adalah tentang Perang Troya. Namun lebih dari itu, karya ini menyajikan pertanyaan yang sangat relevan hingga kini: Apa arti menjadi manusia dalam dunia yang dikuasai oleh para dewa dan takdir?
1. Achilles dan Kemarahan sebagai Pusat Cerita
Achilles, sang pahlawan besar bangsa Akhaia, bukan digambarkan sebagai tokoh sempurna. Ia kuat, nyaris tak terkalahkan, namun juga egois, keras kepala, dan emosional. Kemarahannya terhadap Agamemnon—karena pengambilan selirnya, Briseis—menjadi penyebab banyak tragedi dalam cerita. Ia menolak berperang, dan akibatnya tentara Yunani menderita kekalahan.
Namun, Iliad tak hanya bicara soal harga diri seorang prajurit. Ia menyelami lebih dalam soal bagaimana emosi bisa menjadi kekuatan yang membangun sekaligus menghancurkan. Achilles adalah lambang dari manusia yang tersiksa antara kehormatan dan luka batin. Di sinilah Homer memperlihatkan bahwa pahlawan sejati juga memiliki kelemahan yang sangat manusiawi.
2. Dewa-Dewa yang Turut Bermain
Dalam Iliad, dewa-dewi Olimpus bukan hanya penonton pasif. Mereka aktif terlibat dalam perang, mendukung pihak-pihak tertentu, bahkan bertengkar di antara mereka. Athena, Hera, dan Poseidon berpihak pada bangsa Yunani, sementara Apollo dan Aphrodite mendukung bangsa Troya.