Logika yang Membumi: Belajar Berpikir Jernih dari Madilog
- Cuplikan layar
Tan Malaka mungkin telah menulis MADILOG lebih dari 80 tahun lalu, tetapi ajakannya untuk berpikir logis, rasional, dan ilmiah justru terasa semakin relevan di tengah arus informasi yang liar di era digital saat ini.
Jakarta, WISATA - Ketika Tan Malaka menulis Madilog pada masa penjajahan Jepang, ia tidak hanya sedang menyusun teori filsafat. Ia sedang merancang “alat berpikir” untuk bangsa yang, menurutnya, masih terbelenggu oleh mistik, tahayul, dan pola pikir dogmatis. Dalam pendahuluan bukunya, ia menyoroti bahwa bangsa Indonesia saat itu masih miskin ilmu logika, serta terbiasa menerima tanpa mengkritisi.
"Madilog", singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, adalah usaha besar Tan Malaka untuk mengajarkan cara berpikir yang kritis dan terukur. Dari ketiga unsur tersebut, logika menjadi pondasi utama dalam menyusun argumen dan menyaring kebenaran.
Logika bagi Tan Malaka bukan sekadar teori. Ia adalah alat hidup. Ia dipakai untuk menimbang, menganalisis, dan mengambil keputusan berdasarkan fakta, bukan perasaan, keyakinan buta, atau tekanan sosial.
Mengapa Logika Penting di Era Sekarang?
Jika pada masa Tan Malaka masyarakat mudah percaya pada tahayul, maka hari ini kita menghadapi bentuk tantangan yang berbeda tapi serupa: disinformasi. Masyarakat dengan mudah termakan oleh hoaks, teori konspirasi, dan narasi palsu di media sosial. Sebagian besar karena logika tidak diajarkan sebagai keterampilan hidup sejak dini.
Logika bukan hanya untuk debat filsafat. Ia dibutuhkan dalam hal-hal kecil seperti:
- Menentukan apakah informasi yang beredar di WhatsApp benar atau hoaks.
- Menilai janji-janji kampanye politik.
- Mengelola keuangan pribadi dengan masuk akal.
- Menganalisis kebijakan pemerintah.
- Membuat keputusan berdasarkan data, bukan hanya emosi.
Tan Malaka dengan tegas mengkritik kebiasaan berpikir yang hanya berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau perasaan. Ia menyebutnya logika mistika. Sebuah cara berpikir yang tidak bertumpu pada realitas dan bukti, tetapi pada keyakinan yang tidak dapat diuji.
Madilog dan Kurikulum Pendidikan Kita
Salah satu kritik yang paling relevan terhadap Madilog adalah kenyataan bahwa pemikiran logis belum menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia. Kita banyak diajarkan untuk menghafal, bukan untuk menganalisis. Anak-anak dibiasakan menjawab soal pilihan ganda, tetapi jarang dilatih menyusun argumen.
Tan Malaka sebenarnya telah memberi isyarat bahwa pendidikan harus melatih manusia untuk berpikir. Ia percaya bahwa berpikir logis bukan bakat, tetapi bisa dilatih seperti keterampilan lainnya. Namun, sampai hari ini, pembelajaran logika seringkali hanya disentuh di tingkat perguruan tinggi dan bahkan itu pun terbatas pada jurusan tertentu.
Bayangkan jika sejak SD atau SMP anak-anak diajak untuk bertanya:
- "Mengapa sesuatu itu benar?"
- "Apa buktinya?"
- "Bagaimana cara membuktikan suatu pendapat?"
Bukan sekadar menerima dan menghafal, tetapi membangun kebiasaan bertanya dan kemampuan bernalar. Inilah akar dari literasi kritis yang sangat dibutuhkan di zaman informasi.
Logika dalam Era Media Sosial: Sebuah Pertaruhan
Di zaman media sosial, semua orang punya panggung untuk bicara. Namun, tidak semua suara berasal dari pemikiran yang logis. Bahkan, banyak yang justru memanfaatkan ketidakmampuan berpikir logis untuk menyebar kebencian, menipu, atau memecah belah masyarakat.
Fenomena seperti:
- Video potongan yang menyesatkan.
- Judul clickbait yang tidak sesuai isi.
- Narasi tanpa data.
- Debat kusir di kolom komentar.
...semua menjadi bukti bahwa logika seringkali tidak hadir dalam ruang publik digital kita.
Padahal, logika tidak berarti kaku. Ia justru alat untuk menjaga kebebasan berekspresi tetap sehat. Dengan logika, kita bisa membedakan antara berbeda pendapat dan menyesatkan. Kita bisa sepakat untuk tidak sepakat, tanpa saling membatalkan eksistensi satu sama lain.
Namun, di sinilah kritik terhadap Madilog juga muncul: logika dalam Madilog masih sangat teoretis, belum memberikan peta jalan praktis bagaimana mengajarkannya dalam konteks media sosial. Kita perlu meneruskan warisan Madilog dengan versi yang lebih aplikatif, misalnya:
- Buku ajar logika untuk pelajar SMA.
- Video pendek di media sosial yang mengulas logika sehari-hari.
- Latihan berpikir kritis berbasis kasus nyata.
Apakah Logika Selalu Menjamin Kebenaran?
Penting juga untuk mencermati bahwa logika bukan jaminan pasti atas kebenaran. Ia hanyalah alat. Jika data yang dimasukkan salah, hasilnya pun tetap salah meskipun proses berpikirnya benar.
Inilah kelemahan logika yang juga sempat diakui oleh Tan Malaka di bukunya. Oleh karena itu, logika harus disandingkan dengan fakta dan pengalaman nyata. Dalam era digital, ini berarti kemampuan untuk:
- Mengecek sumber.
- Memahami konteks.
- Membedakan opini dan fakta.
Menutup Jalan Lama, Membuka Jalan Baru
Di akhir Madilog, Tan Malaka menulis bahwa perjuangan sejati bukan hanya perjuangan senjata atau politik, tapi juga perjuangan cara berpikir. Revolusi sejati terjadi di kepala manusia—di cara mereka memahami dunia.
Hari ini, revolusi itu belum selesai.
Logika masih menjadi barang langka. Ia belum membumi dalam keseharian, belum jadi bagian dari budaya populer. Sering kali, orang yang berpikir logis dianggap “kurang iman”, “terlalu ribet”, atau “tidak bisa santai”.
Padahal, justru dengan berpikir logis, kita bisa lebih tenang, lebih adil, dan lebih tahan terhadap manipulasi.
Kesimpulan: Mewarisi Tanpa Mengkultuskan
Kita tidak perlu mengkultuskan Tan Malaka. Tetapi kita bisa mengambil pelajaran dari Madilog, terutama bagian tentang logika, sebagai warisan berpikir yang sangat berguna untuk menghadapi tantangan zaman.
Kini saatnya logika tidak hanya tinggal di buku filsafat atau ruang diskusi akademik, tetapi hadir di ruang kelas, meja makan, grup WhatsApp keluarga, dan tentu saja—di kolom komentar media sosial.
Kalau logika bisa membumi, barulah kita benar-benar menghargai pemikiran Tan Malaka.