Kisah Para Sufi: Maulana Rumi dan Shams, Dua Jiwa dalam Satu Cinta kepada Sang Kekasih

Shams Tabrizi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA - Di antara kisah spiritual paling menggugah dalam sejarah umat manusia, tak ada yang lebih menggema dari pertemuan dua tokoh besar sufi: Maulana Jalaluddin Rumi dan Shams Tabrizi. Keduanya bagaikan dua percikan api yang saling menyulut, menyalakan kobaran cinta ilahi yang mengubah wajah sastra dan spiritualitas Islam untuk selamanya. Pertemuan mereka bukan sekadar kisah guru dan murid, melainkan perjumpaan dua jiwa yang larut dalam cinta kepada Sang Kekasih.

Kisah Para Sufi: Umar Ibn al-Farid, Penyair Sufi yang Mengukir Makna dalam Setiap Syair Cintanya

Cinta dalam dunia sufi bukan sekadar hubungan antara dua insan, tetapi kerinduan abadi menuju Tuhan. Rumi dan Shams memperlihatkan kepada dunia bahwa persahabatan spiritual mampu membuka gerbang menuju dimensi cinta yang tak terbayangkan. Melalui pertemuan mereka, kita belajar bahwa cinta sejati adalah ketika dua jiwa melebur dalam pencarian Tuhan.

Rumi Sebelum Shams: Ulama Ternama yang Terikat Tradisi

Kisah Para Sufi: Hujjatul Islam, Ketika Al-Ghazali Membuktikan Ruh Lebih Dalam dari Logika

Sebelum bertemu Shams, Maulana Jalaluddin Rumi adalah seorang ulama besar, dihormati sebagai ahli fiqih, tafsir, dan hadis. Ia mengajar di Konya, wilayah Anatolia (Turki modern), dan memiliki banyak murid serta pengikut. Rumi hidup dalam struktur keilmuan formal yang sangat disiplin dan kaku. Meski ia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan lembut, pencarian spiritualnya belum mencapai kedalaman yang kelak mengubah wajah puisi sufistik.

Dalam dirinya ada kekosongan spiritual yang belum terisi. Meskipun ilmunya luas, Rumi merindukan sesuatu yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata: sebuah pengalaman transendental yang bisa menyingkap tirai antara dirinya dan Tuhan.

Abu Hamid Al-Ghazali: Penempuh Jalan Gelap yang Menemukan Cahaya Tasawuf

Kemunculan Shams Tabrizi: Angin Misteri dari Timur

Di tengah ketenangan kehidupan Rumi, muncullah Shamsuddin Tabrizi, seorang darwis pengembara yang misterius. Ia dikenal sebagai orang yang eksentrik, tidak terikat pada tatanan sosial ataupun keilmuan formal. Dalam banyak catatan, Shams dikisahkan sebagai sang pencari Tuhan yang tak mengenal kompromi, selalu mendobrak batas dan menguji keikhlasan setiap orang yang mengaku mencintai Tuhan.

Pertemuan Rumi dan Shams di Konya sekitar tahun 1244 menjadi titik balik dalam kehidupan spiritual Rumi. Dalam waktu singkat, Shams berhasil menyalakan api cinta ilahi dalam jiwa Rumi. Bagi Rumi, Shams bukan hanya teman diskusi atau guru ruhani, melainkan cermin di mana ia melihat wajah Tuhannya.

Transformasi Cinta: Dari Intelektual Menjadi Pecinta

Sejak mengenal Shams, Rumi berubah total. Ia meninggalkan kegiatan mengajarnya, menepi dari keramaian, dan tenggelam dalam dialog spiritual mendalam bersama Shams. Banyak murid dan pengikut Rumi tak memahami perubahan ini. Kecemburuan mulai tumbuh, hingga muncul konflik yang memaksa Shams untuk pergi. Namun perpisahan itu justru membuat Rumi semakin terbakar oleh kerinduan.

Cinta Rumi kepada Shams bukan cinta biasa. Ia menyebut Shams sebagai “Matahari Ruhku”, cahaya yang membimbingnya kepada Tuhan. Dalam puisi-puisinya, Rumi tak henti menyebut nama Shams, bukan sebagai sosok duniawi, melainkan sebagai simbol dari hadirat Ilahi.

Dalam bait-bait puisinya, Rumi menulis:

"Shams dari Tabriz, engkaulah yang membuat malamku terang,
engkau menyentuh hatiku dengan api, dan aku terbakar hingga aku menghilang."

Shams Menghilang, Rumi Menjadi Lautan Cinta

Hilangnya Shams, entah karena pergi atau dibunuh, menjadi sumber kesedihan sekaligus pencerahan terbesar bagi Rumi. Ia tak mencari Shams dengan jasad, melainkan dengan hati. Dari kesedihan mendalam itulah lahir ribuan bait puisi dalam Diwan-e Shams-e Tabrizi dan karya agung Masnawi, yang dikenal sebagai Qur’an dalam bahasa Persia.

Rumi menemukan bahwa Shams hidup dalam dirinya, bahwa cinta kepada makhluk telah membimbingnya kepada cinta mutlak kepada Sang Khalik. Ia menulis:

“Apa yang kulihat dalam Shams adalah wajah-Nya.
Apa yang kurasakan dari cinta ini adalah kehadiran-Nya.”

Inilah puncak cinta sufi—ketika cinta kepada sesama menjadi jembatan menuju cinta Tuhan. Dalam cinta itu, tidak ada lagi batas antara “aku” dan “Dia”; yang ada hanya lautan kasih yang tak bertepi.

Rumi: Penari dalam Pusarannya Cinta

Pasca kepergian Shams, Rumi mengekspresikan kerinduannya dengan tarian. Tarian itu bukan untuk dunia, melainkan untuk Tuhan. Dari sinilah tradisi whirling dervishes atau para darwis penari lahir, sebagai simbol perputaran jiwa mengelilingi pusat cahaya Ilahi. Setiap gerakan Rumi adalah zikir, setiap putaran adalah napas cinta.

Baginya, tarian adalah doa, dan cinta adalah wujud paling murni dari iman. Ia berkata:

“Agama cinta adalah dari Tuhan,
tak ada agama lain selain cinta.”

Warisan Rumi dan Shams: Cinta yang Menembus Zaman

Kisah Rumi dan Shams adalah kisah tentang pengorbanan, kehilangan, dan pencarian Ilahi. Tapi lebih dari itu, kisah mereka adalah ajakan untuk menyelami kedalaman hati, menanggalkan ego, dan menghayati kehadiran Tuhan di setiap momen kehidupan.

Karya-karya Rumi menjadi pelita spiritual lintas budaya dan agama. Ia diterjemahkan ke puluhan bahasa, dikutip oleh kaum sufi, filsuf, hingga penyair modern. Sementara Shams tetap menjadi sosok misterius, namun namanya bersinar di setiap puisi Rumi, sebagai simbol kekasih dan Sang Kekasih itu sendiri.

Penutup: Dua Jiwa, Satu Cinta, Satu Tujuan

Maulana Rumi dan Shams Tabrizi bukanlah kisah cinta biasa. Ini adalah kisah dua jiwa yang saling membakar dalam cinta suci kepada Tuhan, hingga batas antara manusia dan Tuhan pun melebur dalam satu kesadaran Ilahiah. Mereka mengajarkan kepada dunia bahwa cinta sejati bukan soal memiliki, tapi soal menjadi—menjadi satu dengan Sang Kekasih.

Di dunia yang penuh ego dan kehausan akan pengakuan, kisah Rumi dan Shams mengingatkan kita bahwa cinta yang murni adalah jalan pembebasan, jalan menuju kebebasan ruhani yang hakiki.