Kisah Menyentuh di Balik Detik-Detik Terakhir Socrates dalam Tradisi Athena yang Legendaris
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Dalam sebuah percakapan mendalam yang terekam secara lisan, Phædo menceritakan secara langsung pengalaman menyaksikan saat-saat terakhir filsuf legendaris, Socrates. Kisah ini tidak hanya mengungkap detil eksekusi yang penuh tradisi dan kepercayaan, tetapi juga memancarkan pesan kebijaksanaan dan keberanian dalam menghadapi kematian.
Tradisi Athena dan Penundaan Eksekusi
Phædo mengawali ceritanya dengan menjelaskan mengapa eksekusi Socrates tidak dilakukan segera setelah vonis dijatuhkan. Sehari sebelum persidangan, sebuah kapal suci dari Athena, yang dihiasi dengan karangan bunga, telah berangkat menuju Pulau Delos. Kapal tersebut konon merupakan kapal yang digunakan oleh Theseus saat mengarungi lautan menuju Kreta bersama empat belas pemuda. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Apollo, warga Athena telah berjanji mengadakan upacara keagamaan tahunan di Delos.
Menurut tradisi yang masih dijunjung tinggi, sejak persiapan upacara dimulai, kota Athena dinyatakan suci. Oleh karena itu, tidak ada eksekusi yang dilakukan sampai kapal suci itu menyelesaikan perjalanan pulang-perginya. Kondisi angin yang terkadang menghambat pelayaran membuat perjalanan tersebut kadang memakan waktu cukup lama. Kebetulan, upacara dimulai sehari sebelum vonis terhadap Socrates, sehingga eksekusi harus ditunda hingga tradisi keagamaan tersebut selesai.
Detik-Detik Terakhir Sang Filsuf
Dalam suasana yang sangat khidmat, Phædo mengisahkan suasana di penjara di mana Socrates menjalani saat-saat terakhirnya. Di tengah keheningan, ia tetap tenang dan penuh kebijaksanaan, dikelilingi oleh para sahabat yang setia. Di antara mereka hadir tokoh-tokoh penting seperti Crito, Apollodorus, Critobulus, dan banyak lagi, yang semuanya berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah ini.
Socrates sendiri tampak begitu damai. Meskipun ada rasa sedih yang menyelimuti, terutama ketika melihat istrinya, Xanthippe, yang menangis menyaksikan perpisahan dengan sang suami, filsuf besar itu tetap menunjukkan sikap bijaksana. Dalam sebuah momen yang penuh makna, ia mengajak para sahabatnya merenungkan hubungan antara rasa sakit dan kenikmatan. Menurutnya, keduanya ibarat dua sisi dari satu koin yang tidak bisa dipisahkan. Pernyataan ini seakan menegaskan keyakinannya bahwa meskipun ia harus meninggalkan dunia ini, perjalanan menuju keabadian jiwa akan membawanya ke tempat yang lebih baik.