Menelisik Dialektika Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali di Persimpangan Filsafat Aristoteles dan Teologi Islam

Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dan Aristoteles
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA - Pernahkah Anda mendengar tentang dua nama besar yang pernah mengubah wajah peradaban Islam? Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali adalah dua tokoh yang, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, berhasil menciptakan suatu sintesis pemikiran yang menggabungkan kekuatan logika dan keimanan. Dalam artikel ini, kita akan menelisik bagaimana dialektika keilmuwan yang mereka kembangkan bisa menyatukan filsafat Aristoteles dengan teologi Islam, sekaligus relevan untuk kehidupan modern.

Karya-Karya Filsuf Muslim yang Hingga Kini Masih Menjadi Rujukan Peradaban Barat

Latar Belakang Sejarah dan Konteks Intelektual

Pada masa kejayaan peradaban Islam, dunia dipenuhi dengan diskursus intelektual yang hidup dan dinamis. Para cendekiawan di berbagai belahan dunia Islam tidak ragu untuk menggali pengetahuan dari berbagai sumber, mulai dari tradisi lisan, kitab-kitab keagamaan, hingga pemikiran filsafat Yunani. Salah satu karya penting yang turut mengangkat tradisi dialektika keilmuwan adalah terjemahan dan adaptasi karya-karya Aristoteles. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina sudah mulai menggabungkan metode rasional dengan ajaran spiritual, menciptakan landasan yang kuat untuk perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Seneca: Jangan Takut Mati, Jika Ingin Hidup Layaknya Manusia Seutuhnya

Di tengah kemegahan tersebut, muncul dua tokoh besar yang namanya tidak hanya dikenal di kalangan ulama, tetapi juga oleh para filsuf dan pemikir Barat: Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Meskipun keduanya lahir di zaman yang berbeda dan memiliki pandangan yang tidak selalu sejalan, perdebatan antara mereka justru membuka ruang bagi dialog intelektual yang mendalam tentang hubungan antara akal dan wahyu.

Al-Ghazali: Sang Penegas Keimanan dalam Era Dialektika

Menggali Pikiran Plato: Mengapa Sosok Sokrates Mendominasi Dialog-Dialog Filsafat Klasik?

Kisah Singkat dan Konteks Pemikiran

Al-Ghazali, atau Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058–1111 M), adalah seorang ulama, filsuf, dan sufi yang karyanya telah menginspirasi jutaan orang. Lahir di provinsi Khurasan, ia dikenal karena kemampuan luar biasanya dalam mengintegrasikan pengetahuan teologis dengan pengalaman mistik. Salah satu karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), tidak hanya membahas aspek-aspek spiritual dan etika, tetapi juga menekankan pentingnya keimanan sebagai landasan kehidupan yang utuh.

Namun, mungkin karya Al-Ghazali yang paling kontroversial adalah Tahafut al-Falasifa (Ketidakkonsistenan Para Filosof). Di sini, ia mengkritik para filsuf yang terlalu mengandalkan akal tanpa mengindahkan wahyu ilahi. Menurutnya, logika murni tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisik yang paling mendalam. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk memahami realitas yang sejati, seseorang harus menyelaraskan akal dengan pencerahan spiritual. Kritiknya ini tentu saja mengguncang dunia pemikiran, terutama di kalangan para pemikir yang terpengaruh oleh tradisi Aristotelian.

Halaman Selanjutnya
img_title