Miskin Tapi Hedon? Fenomena Lipstick Effect di Tengah Lesunya Ekonomi Indonesia

Fenomena Lipstick Effect,
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk, banyak orang merasa terjebak dalam dilema keuangan. Inflasi tinggi, harga barang kebutuhan pokok meroket, sementara daya beli masyarakat semakin menurun. Namun, yang menarik, meskipun banyak yang merasa kesulitan, belanja untuk produk-produk tertentu, terutama barang-barang yang bersifat “hiburan” dan meningkatkan gaya hidup, tetap menjadi prioritas. Fenomena ini dikenal dengan nama Lipstick Effect.

Anda Takkan Percaya! Angka Pertumbuhan Pariwisata Ini Bikin Syok!

Apa itu Lipstick Effect?

Lipstick Effect adalah sebuah teori yang menjelaskan bahwa ketika terjadi resesi ekonomi atau kesulitan finansial, orang cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang-barang besar seperti mobil atau rumah, tetapi tetap akan menghabiskan uang untuk produk yang lebih kecil dan terjangkau, seperti lipstik atau kosmetik. Intinya, orang masih ingin merasa bahagia dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang baik, meskipun mereka harus lebih berhati-hati dalam pengelolaan keuangan.

Libur Sekolah Berkah! Pariwisata Lokal Panen Raya!

Teori ini pertama kali ditemukan oleh Leonard Lauder, CEO dari Estée Lauder, yang menyebut bahwa saat terjadi resesi, penjualan produk kecantikan, terutama lipstik, justru meningkat. Hal ini terjadi karena masyarakat ingin merasakan kenikmatan kecil meski di tengah situasi yang penuh ketidakpastian. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga bisa dilihat di Indonesia.

Lipstick Effect di Indonesia

Rahasia Libur Sekolah Dongkrak Ekonomi RI, Sektor Jasa Lainnya Meledak 11,31% di Q2 2025

Di Indonesia, fenomena Lipstick Effect semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat krisis ekonomi global melanda. Meskipun ada banyak orang yang tertekan oleh inflasi dan pengangguran, pengeluaran untuk gaya hidup, hiburan, dan barang-barang konsumsi tetap mengalami lonjakan. Salah satu contohnya adalah sektor pariwisata dan hiburan.

Sektor Pariwisata dan Hiburan: Berlibur di Tengah Krisis

Salah satu sektor yang masih tumbuh meskipun ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi lesu adalah sektor pariwisata. Destinasi wisata tetap ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun pandemi telah mereda, sektor pariwisata Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang cukup pesat. Bahkan, beberapa tempat wisata di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta terlihat tetap penuh dengan wisatawan meskipun ada tekanan ekonomi.

Bukan hanya itu, sektor hiburan seperti bioskop, restoran, dan pusat perbelanjaan pun tetap ramai. Orang-orang tetap meluangkan waktu untuk bersosialisasi, makan di luar, atau menonton film meskipun harus berhemat di sektor lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi ekonomi sulit, banyak yang merasa bahwa mereka butuh pelarian untuk meredakan tekanan hidup yang semakin berat.

Hedonisme dan Konsumsi yang Tidak Seimbang

Di sisi lain, ada fenomena yang cukup kontradiktif dengan kondisi perekonomian Indonesia. Meskipun banyak yang berusaha untuk menekan pengeluaran dan menabung lebih banyak, ada kelompok masyarakat yang tetap memprioritaskan gaya hidup hedonis. Mereka rela mengeluarkan uang untuk barang-barang yang dianggap tidak terlalu penting, seperti pakaian bermerek, gadget terbaru, atau sekadar nongkrong di kafe-kafe populer.

Fenomena ini menggambarkan ketegangan dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Mereka seolah-olah ingin menampilkan citra yang lebih baik meskipun secara finansial mereka berada dalam tekanan. Untuk banyak orang, tampil modis, makan di restoran terkenal, atau menghabiskan waktu di kafe adalah cara untuk merasa "hidup", meskipun kondisi ekonomi semakin sulit.

Mengapa Lipstick Effect Bisa Terjadi di Indonesia?

Ada beberapa alasan mengapa fenomena Lipstick Effect ini terjadi di Indonesia, bahkan di tengah krisis ekonomi yang melanda. Salah satu penyebab utama adalah adanya budaya konsumtif yang sudah mengakar. Masyarakat, terutama kalangan menengah ke atas, seringkali terjebak dalam budaya konsumsi yang berorientasi pada penampilan dan status sosial. Media sosial, misalnya, telah menciptakan standar baru dalam gaya hidup, di mana banyak orang merasa perlu untuk menunjukkan gaya hidup mewah agar terlihat sukses meskipun kondisi finansial tidak mendukung.

Selain itu, adanya kecenderungan untuk mencari kebahagiaan dalam bentuk material juga mempengaruhi perilaku konsumsi. Orang-orang berusaha untuk membeli kebahagiaan melalui konsumsi, terutama barang-barang yang dapat memberikan kepuasan langsung, seperti pakaian, makeup, atau bahkan pengalaman liburan. Dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, membeli sesuatu yang memberi kenikmatan sementara menjadi cara untuk mengatasi stres dan kecemasan.

Apakah Fenomena Ini Berbahaya?

Meskipun fenomena Lipstick Effect bisa dilihat sebagai cara untuk mengatasi tekanan hidup, namun jika tidak dikendalikan, kebiasaan konsumtif ini bisa berbahaya. Terlalu banyak menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak esensial dapat menyebabkan masalah finansial jangka panjang. Menabung dan merencanakan keuangan dengan bijak adalah kunci untuk bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Menurut survei yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki budaya konsumtif yang tinggi, meskipun banyak di antaranya sudah menyadari pentingnya menabung. Namun, ketergantungan pada gaya hidup yang hedonis dan konsumtif membuat sebagian besar orang kesulitan untuk menyiapkan dana darurat atau melakukan investasi yang berguna di masa depan.

Mengelola Lipstick Effect dengan Bijak

Fenomena Lipstick Effect memang menunjukkan betapa kuatnya dorongan untuk memenuhi kebutuhan emosional melalui konsumsi, meskipun kondisi ekonomi tidak mendukung. Namun, penting bagi masyarakat untuk belajar mengelola keuangan dengan bijak, tanpa terjebak dalam gaya hidup yang hanya akan memperburuk kondisi finansial di masa depan.

Penting bagi setiap individu untuk tetap menjaga keseimbangan antara keinginan untuk membeli barang-barang yang dapat memberi kepuasan sementara dengan kebutuhan untuk menabung dan mempersiapkan masa depan yang lebih stabil. Jika tidak, kita bisa terjebak dalam siklus konsumsi yang berujung pada masalah keuangan yang lebih besar di masa depan.