Apakah AI Akan Ambil Alih Dunia Kerja Manusia?, Ini Penjelasan Adhiguna, Pakar di Swiss German University

Dr. Adhiguna Mahendra
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Jakarta, WISATA - Teknologi kecerdasan buatan, atau yang lebih akrab kita sebut AI, sedang mengubah segala aspek kehidupan, mulai dari cara kita bekerja hingga memandang masa depan. Tidak bisa dipungkiri, AI menawarkan peluang luar biasa, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran besar, terutama di dunia kerja. Bagaimana masa depan tenaga kerja manusia di tengah serbuan teknologi ini?

ITS Kembangkan Robot Anjing Cerdas untuk Industri dan Kehidupan Sehari-hari

Menurut Dr. Adhiguna Mahendra, seorang pakar AI sekaligus staf pengajar di Swiss German University dan AI SmartX Academy, AI saat ini seperti pedang bermata dua. "AI bisa menjadi alat luar biasa yang mempercepat inovasi teknologi dan efisiensi. Tapi, jika tidak diatur dengan baik, teknologi ini berpotensi menghancurkan banyak aspek dalam struktur tenaga kerja manusia," jelasnya.

Dunia Kerja yang Mulai Berubah Drastis

Model AI dapat Memprediksi 'Usia Biologis' dari Swafoto dan akan Digunakan Memandu Pengobatan Kanker

Perubahan di dunia kerja akibat AI sudah terasa nyata. Profesi seperti AI engineering kini sedang naik daun. Keahlian mengintegrasikan teknologi AI dengan sistem aplikasi modern menjadi sangat diminati. Namun, jumlah pekerjaan baru yang tercipta tidak sebanding dengan pekerjaan yang hilang.

Kristalina Georgieva, Direktur IMF, pernah mengatakan bahwa hingga 40 persen pekerjaan di seluruh dunia bisa terdampak oleh AI. Dampak ini bahkan lebih besar di negara maju, di mana sekitar 60 persen pekerjaan berisiko tergantikan oleh otomatisasi. Dr. Adhiguna menggarisbawahi hal ini, “Profesi yang selama ini stabil, seperti akuntan atau pengacara, bisa saja mulai berkurang jumlahnya secara signifikan.”

Siswa Berkompetisi Melawan AI dalam Lomba Menulis, Hasilnya Mengejutkan!

Pekerjaan-pekerjaan administratif seperti hukum, keuangan, dan pemrograman tetap relevan, tetapi tidak dalam skala besar seperti sebelumnya. Dengan teknologi AI yang semakin canggih, satu orang bisa menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan lima hingga sepuluh orang. “Contohnya, generative AI seperti ChatGPT dapat membantu pengacara menyusun dokumen hukum atau mendukung analis keuangan memproses data dalam jumlah besar dengan cepat. Akibatnya, kebutuhan tenaga kerja di sektor ini akan berkurang drastis,” ujar Dr. Adhiguna.

Pekerjaan kreatif seperti desain grafis juga tidak luput dari ancaman. Teknologi seperti Midjourney atau aplikasi berbasis AI lainnya kini mampu menciptakan karya visual hanya dalam hitungan detik. “Sekarang, siapa pun bisa menghasilkan desain berkualitas tinggi tanpa harus menjadi desainer profesional. Ini jelas tantangan besar bagi industri kreatif,” kata Adhiguna.

Selain itu, sektor pekerjaan manual atau blue collar juga mulai tergantikan oleh teknologi robotika. Robot kini semakin sering digunakan di pabrik-pabrik, gudang logistik, bahkan di sektor pelayanan. Tren ini membuat ribuan pekerja manual kehilangan pekerjaan, menciptakan disrupsi besar dalam perekonomian berbasis tenaga kerja manusia.

Ketimpangan yang Semakin Melebar

Salah satu efek samping terbesar dari AI adalah potensi peningkatan ketimpangan ekonomi. Perusahaan besar yang mengadopsi AI dapat mengurangi biaya tenaga kerja dengan signifikan, sementara ribuan orang kehilangan mata pencaharian. “Jika kita tidak berhati-hati, AI justru bisa menjadi alat yang memperlebar jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskin,” tegas Adhiguna.

Data dari IMF menunjukkan, separuh pekerjaan yang terdampak AI mungkin akan diuntungkan melalui peningkatan produktivitas. Namun, separuh lainnya menghadapi risiko nyata: kehilangan pekerjaan atau penurunan pendapatan. "Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga potensi menciptakan ketegangan sosial yang lebih besar di berbagai negara," lanjutnya.

Bagaimana Kita Bisa Menghadapi Tantangan Ini?

Meski tantangan yang dihadapi besar, Dr. Adhiguna percaya bahwa masih ada solusi untuk memastikan AI menjadi kekuatan yang mendukung masyarakat, bukan mengancamnya. “Kuncinya ada di regulasi yang ketat dan peran aktif pemerintah,” katanya.

Regulasi diperlukan untuk memastikan AI digunakan secara etis dan bertanggung jawab. Pemerintah harus menetapkan aturan yang jelas, terutama di sektor-sektor kritis seperti keuangan, hukum, dan administrasi, agar tidak ada penggantian tenaga kerja secara besar-besaran tanpa transisi yang baik. Transparansi dalam penggunaan AI juga menjadi penting untuk menghindari diskriminasi dalam keputusan berbasis teknologi ini.

Namun, regulasi saja tidak cukup. Pemerintah perlu mengambil langkah aktif untuk menciptakan harmoni antara manusia dan AI. “Pemerintah bisa memberikan insentif kepada perusahaan yang mengadopsi model hybrid, di mana AI digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengurangi lapangan kerja manusia,” sarannya.

Selain itu, reskilling atau pelatihan ulang tenaga kerja juga menjadi kunci penting. Dengan memberikan akses pelatihan kepada pekerja yang terdampak, mereka bisa belajar keterampilan baru yang relevan dengan era teknologi ini. “AI harus dilihat sebagai peluang untuk belajar dan berkembang, bukan sebagai ancaman yang tidak bisa dilawan,” kata Adhiguna optimis.

AI dan Masa Depan Tenaga Kerja

Teknologi kecerdasan buatan memang membawa perubahan besar, tetapi bukan berarti manusia harus menyerah. Masa depan kita dengan AI akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengelola teknologi ini dan dampaknya terhadap masyarakat.

“AI bukan musuh, tapi juga bukan teman yang bisa kita percaya sepenuhnya. Kalau kita ingin masa depan yang inklusif, di mana manusia dan mesin bisa hidup berdampingan, kita harus bersiap dari sekarang,” tutup Adhiguna dengan penuh keyakinan.