Krisis Iklim Terus Memburuk: Inilah Daftar Negara yang Gagal Memenuhi Paris Agreement

Batu Bara adalah Salah Satu Penyumbang Emisi Terbesar
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

 

Inovasi Baru dari Toyota: Bisa Tukar Pasang Sel Hidrogen, Bikin Isi Bahan Bakar Semudah Cas HP

Jakarta, WISATA - Sejak Paris Agreement disepakati pada 2015, tujuan utama untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C tampaknya semakin jauh dari jangkauan. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan menunjukkan bahwa sejumlah negara tidak memenuhi target pengurangan emisi, yang mengancam stabilitas ekosistem dan memperburuk bencana iklim global. Artikel ini mengulas daftar negara, alasan kegagalan mereka, serta dampaknya terhadap dunia.

Paris Agreement: Komitmen Global yang Melemah

Peluang Kerjasama yang Bisa Dikembangkan dalam Bidang Teknologi Pasca Kunjungan Prabowo ke China

Paris Agreement bertujuan menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan ambisi mencapai 1,5°C. Namun, laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebutkan bahwa dunia masih berada di jalur menuju kenaikan suhu hingga 2,7°C pada akhir abad ini. Hal ini disebabkan oleh kegagalan banyak negara dalam mengimplementasikan Nationally Determined Contributions (NDC) secara maksimal.

Negara-Negara yang Gagal Memenuhi Target

  1. Amerika Serikat
    Sebagai salah satu pengemisi karbon terbesar, Amerika Serikat kerap mengalami perubahan kebijakan iklim akibat pergantian pemerintahan. Meski kembali ke Paris Agreement di bawah pemerintahan Biden, investasi besar-besaran pada minyak dan gas baru menghambat upaya pengurangan emisi.
  2. Cina
    Cina, penghasil emisi terbesar di dunia, menetapkan target net-zero pada 2060. Namun, produksi energi batu bara tetap menjadi pilar utama ekonominya, yang membuat emisi negara ini terus melonjak.
  3. India
    India, dengan populasi besar, masih bergantung pada batu bara sebagai sumber utama energi. Upaya transisi ke energi terbarukan berjalan lambat, meskipun ada peningkatan dalam instalasi tenaga surya.
  4. Indonesia
    Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 43% pada 2030. Namun, kebijakan yang memberikan ruang bagi investasi batu bara menunjukkan kontradiksi. Emisi dari deforestasi dan lahan gambut juga menjadi tantangan besar.
  5. Brasil
    Brasil gagal melindungi hutan hujan Amazon, yang merupakan penyerap karbon utama dunia. Laju deforestasi yang meningkat di bawah kebijakan pro-ekstraktif semakin memperburuk situasi.
Revolusi Teknologi di Ibu Kota Nusantara: Menuju Kota Cerdas Berdaya Saing Global

Dampak Kegagalan pada Krisis Iklim

Kegagalan negara-negara ini memperburuk dampak perubahan iklim secara global:

  • Bencana Cuaca Ekstrem: Suhu yang lebih tinggi menyebabkan gelombang panas, banjir, dan badai menjadi lebih sering dan intens. Wilayah seperti Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara menghadapi risiko tertinggi.
  • Kenaikan Permukaan Laut: Pemanasan global mempercepat pencairan es di kutub, mengancam wilayah pesisir dan pulau kecil.
  • Kehancuran Ekosistem: Ekosistem laut dan darat, termasuk terumbu karang dan hutan tropis, menghadapi ancaman kepunahan massal jika suhu terus meningkat. 

    Dampak Perubahan Iklim

    Photo :
    • IPCC

Peluang untuk Perbaikan

Masih ada waktu untuk menghindari bencana yang lebih besar jika langkah-langkah berikut diambil:

  1. Transisi Energi Terbarukan
    Negara-negara harus menghentikan investasi pada energi fosil dan mempercepat pengembangan energi bersih seperti surya dan angin
  2. Penghentian Deforestasi
    Perlindungan hutan primer, terutama di wilayah tropis seperti Amazon dan Indonesia, menjadi langkah kunci dalam menyerap karbon
  3. Pendanaan Iklim
    Negara-negara maju harus mempercepat pendanaan untuk mendukung negara berkembang dalam beradaptasi dengan perubahan iklim
  4. Aksi Kolektif dan Tekanan Global
    Tekanan internasional dan komitmen bersama dalam konferensi iklim seperti COP28 harus menghasilkan kebijakan yang lebih ambisius dan terukur

Krisis iklim bukan hanya tanggung jawab satu negara, melainkan tantangan global yang membutuhkan kolaborasi mendalam. Meski beberapa negara telah gagal, aksi cepat masih dapat memperbaiki situasi. Dunia membutuhkan kepemimpinan kuat dan langkah nyata untuk menghindari bencana yang lebih besar.