BRICS atau G7, Siapa yang Menawarkan Masa Depan Ekonomi Lebih Cerah untuk Indonesia?

Menteri Luar Negeri Sugion0 dalam Pertemuan KTT BRICS di Kazan
Sumber :
  • Kementerian Luar Negeri RI

Jakarta, WISATA - Indonesia tengah berada di persimpangan besar dalam menentukan arah masa depannya di tengah persaingan ekonomi global yang kian memanas. Dengan meningkatnya ketegangan antara blok-blok kekuatan ekonomi dunia, Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk mempertahankan aliansi strategis yang sudah ada atau membuka diri untuk bergabung dengan BRICS — aliansi negara-negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Meski berpotensi membuka peluang, bergabung dengan BRICS juga bisa memunculkan tantangan dan risiko tersendiri bagi Indonesia, terutama dalam menjaga keseimbangan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara G7.

Menunggu "Wow", Pasca Pelantikan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Mungkinkah?

Mengapa BRICS Menarik Bagi Indonesia?

Salah satu alasan utama ketertarikan Indonesia terhadap BRICS adalah potensi untuk mendiversifikasi hubungan ekonomi dan memperkuat akses ke pasar negara berkembang. Negara-negara BRICS saat ini menguasai hampir 40% populasi dunia dan sekitar 24% Produk Domestik Bruto (PDB) global, menjadikannya pasar yang sangat besar dan prospektif untuk investasi serta perdagangan baru​.

Ekonomi, Budaya Indonesia Rontok Dihantam TikTok: Penjajahan Modern Melalui Teknologi Digital

BRICS juga dikenal sebagai penggerak utama untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi internasional, suatu inisiatif yang dapat membantu Indonesia mengurangi volatilitas dalam nilai tukar dan menjaga stabilitas ekonomi. Kehadiran Bank Pembangunan Baru (New Development Bank, NDB) BRICS juga menarik bagi Indonesia, karena menawarkan akses ke sumber pembiayaan yang lebih fleksibel, khususnya dalam pendanaan proyek infrastruktur tanpa persyaratan yang terlalu ketat seperti lembaga keuangan Barat​.

Selain itu, BRICS membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan suara dan pengaruhnya di panggung global, berdampingan dengan negara-negara yang memiliki latar belakang ekonomi yang serupa. Dalam lingkungan global yang semakin multipolar, berada dalam blok seperti BRICS bisa memperkuat daya tawar Indonesia dalam isu-isu perdagangan, perubahan iklim, dan reformasi keuangan global​.

Menjadi Ekonomi Terbesar di ASEAN: AIIB Harus Memperluas Operasinya di Indonesia

Tantangan Bergabung dengan BRICS

Meskipun terlihat menguntungkan, bergabung dengan BRICS juga memiliki tantangan tersendiri. Beberapa analis, termasuk Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan bahwa manfaat ekonomi yang didapatkan Indonesia mungkin tidak sebanding dengan risiko politik yang muncul. Hal ini terutama terkait dengan hubungan Indonesia dengan negara-negara G7, di mana AS dan Uni Eropa masih merupakan mitra dagang utama serta sumber investasi terbesar bagi Indonesia.

Bergabung dengan BRICS bisa menciptakan persepsi bahwa Indonesia condong ke arah blok Timur, yang bisa berisiko memicu ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama di tengah situasi geopolitik yang tegang antara AS dan Tiongkok. Sebagai negara yang telah lama menerapkan kebijakan luar negeri bebas-aktif, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan aliansi tertentu dapat memengaruhi fleksibilitas diplomatiknya dan mengurangi independensi posisinya dalam isu-isu global​

BRICS sendiri masih menghadapi tantangan internal. Perbedaan besar dalam sistem politik dan ekonomi antar anggotanya sering kali menimbulkan ketidaksepakatan dalam menentukan prioritas dan kebijakan bersama. Misalnya, konflik kepentingan antara Tiongkok dan India dapat mempengaruhi dinamika internal BRICS, yang pada akhirnya bisa mengurangi efektivitas organisasi ini sebagai blok yang solid.

G7: Keunggulan Kemitraan Lama dengan Potensi Stabilitas

Sebagai blok yang terdiri dari negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang, G7 memiliki peran penting dalam perekonomian global. Hubungan Indonesia dengan G7 sudah lama terjalin, terutama dalam hal perdagangan dan investasi. G7 mencakup banyak perusahaan multinasional yang telah berinvestasi di berbagai sektor ekonomi Indonesia, mulai dari manufaktur, energi, hingga teknologi.

Kemitraan dengan negara-negara G7 juga memberikan akses kepada Indonesia pada teknologi, praktik bisnis, serta pengetahuan yang cenderung lebih maju dan inovatif. Selain itu, G7 masih menjadi pusat dari sebagian besar arus perdagangan global, sistem perbankan internasional, dan standar regulasi yang mengatur keuangan global. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan G7 dianggap penting untuk memastikan stabilitas ekonomi dan kepercayaan pasar pada ekonomi Indonesia​

Data Ekonomi dan Statistik

Dari segi kontribusi ekonomi, negara-negara BRICS memiliki potensi besar dengan total PDB yang setara dengan seperempat dari ekonomi global, namun kontribusi terhadap inovasi teknologi dan stabilitas finansial global masih lebih kuat dari negara-negara G7. Berdasarkan data dari Bank Dunia, G7 berkontribusi terhadap 46% PDB global, sedangkan BRICS hanya sekitar 24%​. Namun, negara-negara BRICS telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan G7 selama beberapa dekade terakhir, dengan Tiongkok dan India sebagai pendorong utama.

Dalam hal investasi langsung asing (FDI), negara-negara G7 masih memimpin, dengan aliran investasi yang jauh lebih besar ke negara berkembang, termasuk Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara BRICS. Pada tahun 2022, FDI dari AS ke Indonesia tercatat sekitar USD 2,5 miliar, sementara investasi dari Tiongkok sekitar USD 1,4 miliar. Meski Tiongkok merupakan anggota BRICS, kontribusinya masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara G7 lainnya​.

Masa Depan Indonesia: Memilih atau Menjaga Keseimbangan?

Keputusan Indonesia dalam bergabung dengan BRICS atau tetap menjaga hubungan erat dengan G7 bukanlah perkara mudah. Di satu sisi, BRICS menawarkan peluang besar untuk memperluas pasar, mendiversifikasi ekonomi, dan mengurangi ketergantungan pada dolar. Namun, risiko politik dan diplomatik juga perlu dipertimbangkan, terutama dengan latar belakang ketegangan antara Timur dan Barat yang semakin meningkat.

Banyak pengamat berpendapat bahwa Indonesia sebaiknya tetap mempertahankan posisinya yang bebas dan aktif, tanpa terikat secara resmi dengan blok manapun. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk memaksimalkan manfaat dari hubungan ekonomi dengan kedua belah pihak tanpa mengorbankan kemandiriannya. Dengan memainkan peran sebagai negara non-blok, Indonesia memiliki fleksibilitas dalam menjaga hubungan baik dengan BRICS maupun G7, serta tetap fokus pada pembangunan ekonomi domestik dan kebutuhan rakyat.

Indonesia berada di persimpangan jalan yang krusial dalam menentukan arah masa depan ekonominya. Apakah bergabung dengan BRICS akan menjadi langkah maju dalam memperkuat posisi global atau justru membuka risiko geopolitik yang lebih besar? Atau apakah menjaga hubungan erat dengan G7 akan lebih menguntungkan bagi stabilitas ekonomi dan daya saing jangka panjang?

Pilihan ini membutuhkan pertimbangan yang mendalam, namun tetap diharapkan bahwa apapun keputusan Indonesia, arah kebijakan luar negerinya akan terus berlandaskan pada prinsip bebas dan aktif, dengan fokus pada manfaat optimal bagi kesejahteraan bangsa.