Aristoteles: Memberi Kasih Sayang Adalah Naluri Dasar Manusia

- Handoko/Istimewa
Aristoteles menekankan bahwa memberi kasih sayang tidak hanya memperkuat hubungan antarindividu, tetapi juga memberi rasa kendali dan tujuan dalam hidup. Saat seseorang memberi, ia tidak sekadar berkorban, tetapi ia menyatakan eksistensinya secara aktif.
Psikolog modern menjelaskan bahwa memberi mengaktifkan bagian otak yang terkait dengan perasaan puas dan bahagia—disebut "helper’s high". Ini adalah keadaan emosional yang positif akibat memberi bantuan atau kasih kepada orang lain.
Selain itu, memberi juga memperkuat harga diri. Ketika kita mampu memberi, kita merasa berguna dan dibutuhkan. Inilah mengapa banyak orang tua rela mengorbankan segalanya demi anak-anaknya—karena memberi kasih sayang membuat mereka merasa hidup mereka berarti.
Ketidakseimbangan: Ketika Memberi Tak Dihargai
Namun, dalam praktiknya, memberi kasih sayang tidak selalu mudah. Terkadang, seseorang yang terlalu sering memberi bisa merasa dimanfaatkan, atau merasa kecewa karena tidak mendapatkan timbal balik.
Meski begitu, Aristoteles mengajarkan bahwa kasih sayang sejati bukanlah soal balas jasa. Ia adalah bentuk dari keutamaan (virtue), tindakan yang dilakukan karena nilai baik itu sendiri. Dalam filsafatnya, tindakan memberi bukanlah alat untuk mendapatkan, tetapi merupakan tujuan yang mulia.
Namun, tetap penting untuk menjaga keseimbangan. Memberi kasih sayang bukan berarti membiarkan diri dimanfaatkan atau kehilangan identitas. Justru, dengan mencintai diri sendiri secara sehat, seseorang bisa lebih kuat dalam memberi kepada orang lain.