Tradisi Sesaji Rewanda di Semarang: Perpaduan Budaya, Alam, dan Spiritualitas yang Unik di Momen Syawalan
- viva.co.id
Tradisi ini diyakini telah berlangsung sejak abad ke-15, berawal dari kisah Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, yang tengah mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan tersebut, ia mendapatkan bantuan dari para kera untuk memindahkan kayu jati yang sangat berat. Untuk menghormati peran kera-kera tersebut, Sunan Kalijaga kemudian "menitipkan" mereka di Goa Kreo, yang dari masa ke masa terus dihormati sebagai bagian dari sejarah Islam dan budaya Jawa.
"Sesaji Rewanda yang berarti memberi hadiah kepada kera merupakan cerminan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam," jelas Wing Wiyarso. Ia menambahkan bahwa melalui tradisi ini, masyarakat Semarang diajak untuk tidak hanya merayakan kemenangan spiritual setelah sebulan berpuasa, tetapi juga menghormati ciptaan Tuhan dalam segala bentuknya, termasuk hewan-hewan yang hidup berdampingan dengan manusia.
Kirab sesaji biasanya dilakukan pada tanggal 7 Syawal dan didahului oleh pawai dari desa menuju Goa Kreo. Uniknya, dalam arak-arakan ini terdapat empat orang yang mengenakan kostum monyet dan menari sepanjang jalan, menyemarakkan suasana dan memberikan hiburan kepada masyarakat. Di belakang mereka, terdapat pula replika kayu jati sebagai simbol peran kera dalam membantu Sunan Kalijaga memindahkan kayu.
Setibanya di Goa Kreo, prosesi berlanjut dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh tokoh adat. Momen ini menjadi saat khidmat, di mana masyarakat menyampaikan rasa syukur dan permohonan keberkahan kepada Tuhan. Anak-anak dari komunitas lokal pun ambil bagian, mengenakan kostum kera dan menari menggambarkan kisah spiritual ini, menjadikan tradisi ini juga sebagai sarana edukasi budaya sejak dini.
Acara ditutup dengan pembagian gunungan berisi aneka buah dan makanan tradisional, termasuk Sego Kethek, kepada para kera penghuni Goa Kreo. Momen ini kerap menjadi atraksi menarik bagi wisatawan dan masyarakat yang datang, karena kera-kera dengan bebas mengambil makanan yang disajikan, menciptakan pemandangan unik dan menyentuh yang jarang ditemukan di tempat lain.
Tradisi Sesaji Rewanda adalah contoh konkret bagaimana sebuah kota besar seperti Semarang mampu mempertahankan kearifan lokal di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Bukan hanya ajang seremonial, tapi juga momentum mempererat hubungan antar manusia, antara manusia dan alam, serta manusia dengan Tuhan.
Bagi Anda yang belum pernah menyaksikan langsung, Sesaji Rewanda bukan sekadar wisata budaya biasa. Di sinilah sejarah, spiritualitas, seni, dan lingkungan hidup menyatu dalam harmoni yang menenangkan dan membangkitkan kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan secara damai dan penuh rasa syukur.