Menelusuri Jejak Kearifan Lokal: Memahami Filsafat Jawa, Sejarah, dan Pengaruhnya

Ilustrasi Filsafat Jawa.jpg
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Malang, WISATA – Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, nilai-nilai luhur budaya lokal kian terasa penting untuk dilestarikan. Salah satu warisan budaya yang tak ternilai adalah filsafat Jawa, sebuah sistem pemikiran tradisional yang sarat makna dan relevan dengan kehidupan masa kini.

Kritik Immanuel Kant terhadap Konsep Golden Mean dalam "Nikomakhos Etika" Aristoteles

Filsafat Jawa bukan sekadar kumpulan pepatah atau cerita rakyat, melainkan sebuah sistem pemikiran yang kompleks dan mendalam tentang kehidupan, manusia, dan hubungannya dengan alam semesta. Berbeda dengan filsafat Barat yang menekankan logika dan penalaran, filsafat Jawa lebih condong ke arah keselarasan, harmoni, dan spiritualitas.

 

Kritik Friedrich Nietzsche terhadap Konsep Kebajikan dalam "Nikomakhos Etika" Aristoteles

Ilustrasi Filsafat Jawa.jpg

Photo :
  • Image Creator/Handoko

Menelusuri Jejak Sejarah

Konsepsi Keadilan dalam "Nikomakhos Etika" Aristoteles

Filsafat Jawa tidak tersaji dalam buku-buku tebal, melainkan tertanam dalam tradisi lisan, seni, dan budaya. Kearifan lokal ini diwariskan turun-temurun melalui pepatah, cerita rakyat, wayang, dan berbagai bentuk kesenian lainnya. Beberapa prasasti dan peninggalan sejarah, seperti Candi Borobudur dan Prambanan, juga menyimpan petunjuk tentang nilai-nilai filsafat Jawa yang dijunjung tinggi.

Filsafat Jawa telah ada sejak berabad-abad lampau, dan terus berkembang seiring dengan perjalanan sejarah dan budaya Jawa. Akarnya dapat ditelusuri hingga era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Nilai-nilai filsafat Jawa kemudian dipadukan dengan ajaran Islam yang masuk ke Jawa pada abad ke-14.

Halaman Selanjutnya
img_title