Keteguhan Moral di Tengah Krisis: Pandangan Stoik yang Relevan Menurut Massimo Pigliucci

Massimo Pigliucci
Sumber :
  • Cuplikan layar

Malang, WISATA — Ketika dunia dilanda ketidakpastian, bencana, dan konflik moral yang semakin kompleks, banyak orang mencari pijakan batin untuk bertahan secara mental dan spiritual. Di tengah pusaran krisis global, ajaran filsafat Stoik kembali mendapat sorotan karena menawarkan prinsip-prinsip abadi tentang keteguhan moral, ketenangan batin, dan tanggung jawab pribadi. Salah satu tokoh kontemporer yang getol membumikan ajaran Stoik adalah Massimo Pigliucci, filsuf dan profesor yang juga penulis buku laris How to Be a Stoic.

Jangan Takut Gagal, Stoikisme Mengajarkan Cara Bangkit

Menurut Pigliucci, Stoisisme bukan sekadar teori filsafat yang abstrak, melainkan panduan praktis untuk hidup dengan integritas—terutama ketika dunia tampak penuh kekacauan. Artikel ini akan mengulas bagaimana pandangan Stoik, melalui lensa Pigliucci, tetap relevan dalam membantu kita menjaga moralitas di tengah krisis.

Moralitas dalam Pandangan Stoik

Tidak Semua Bisa Dikendalikan, Tapi Kamu Bisa Mengendalikan Dirimu

Filsafat Stoik berakar pada keyakinan bahwa kebajikan (aretê)—seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri—adalah satu-satunya kebaikan sejati. Pigliucci menekankan bahwa dalam situasi krisis, saat pilihan-pilihan tampak sulit dan tekanan begitu kuat, kebajikan tetap menjadi kompas utama.

“Stoisisme mengajarkan bahwa kita tidak bisa mengendalikan dunia, tapi kita bisa mengendalikan nilai-nilai yang kita pegang,” ujar Pigliucci dalam salah satu ceramahnya.

Di Tengah Kekacauan, Filsafat Bisa Jadi Kompas Hidup

Dalam konteks krisis, banyak orang tergoda untuk mengorbankan integritas demi keuntungan pribadi atau rasa aman. Di sinilah ajaran Stoik hadir sebagai pengingat bahwa tindakan kita harus didasarkan pada prinsip, bukan emosi atau dorongan sesaat.

Keteguhan Moral: Antara Refleksi dan Tindakan

Pigliucci menyoroti pentingnya refleksi diri sebagai fondasi untuk menjaga keteguhan moral. Praktik Stoik seperti journaling (menulis refleksi harian), praemeditatio malorum (membayangkan kemungkinan terburuk), dan evaluasi malam hari, adalah latihan mental untuk memperkuat prinsip hidup seseorang.

“Keteguhan bukan muncul saat semuanya mudah. Keteguhan diuji saat segala hal menantang prinsip yang kita yakini,” tulis Pigliucci dalam How to Live Like a Stoic.

Refleksi harian membantu seseorang mengenali apakah tindakannya sejalan dengan nilai-nilai universal: apakah kita bertindak adil, bijaksana, dan penuh kasih, meskipun dunia tampak kejam?

Krisis Bukan Alasan untuk Goyah

Sejarah mencatat bahwa para filsuf Stoik kuno, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, justru menulis karya-karya agung mereka di masa sulit. Epictetus adalah seorang budak yang menjadi guru moral, sementara Marcus Aurelius menulis Meditations saat memimpin perang yang brutal.

Pigliucci menekankan bahwa teladan mereka menunjukkan bahwa prinsip moral tidak tergantung pada kondisi luar. Bahkan dalam krisis, seseorang masih bisa memilih untuk bersikap bijak dan berbuat adil.

“Jika kamu menyerahkan kompas moralmu kepada dunia luar, maka kamu tak akan pernah memiliki arah yang pasti,” tegasnya.

Keteguhan Moral di Era Digital dan Politik

Di era modern yang dipenuhi media sosial, polarisasi politik, dan ketidakpastian ekonomi, keteguhan moral menjadi semakin sulit. Pigliucci memperingatkan bahwa banyak orang terseret arus informasi yang manipulatif, atau bertindak berdasarkan emosi dan kemarahan, bukan nalar.

Stoisisme menuntun kita untuk tidak reaktif, tetapi reflektif. Sebagaimana kutipan Pigliucci yang terkenal: “Jangan reaktif terhadap dunia — reflektiflah terhadap dirimu sendiri.” Dalam dunia yang sibuk dan gaduh, orang Stoik memilih diam untuk berpikir, bukan berteriak untuk menang.

Menjadi Kompas Moral Bagi Orang Lain

Pigliucci juga menyarankan agar pengikut Stoik berperan sebagai panutan moral, bukan pengkhotbah. Ketika dunia kehilangan arah, keberadaan seseorang yang teguh dalam prinsip, sabar dalam menghadapi konflik, dan adil dalam keputusan, bisa menjadi cahaya bagi orang lain.

Dalam istilah modern, hal ini serupa dengan menjadi "pemimpin moral" di lingkungan kita—entah di keluarga, kantor, atau komunitas sosial. “Kamu tidak harus menyelamatkan dunia,” kata Pigliucci. “Tapi kamu bisa menginspirasi satu orang untuk tidak menyerah pada keburukan.”

Akhir Kata: Stoisisme Bukan Pelarian, Tapi Peneguhan

Bagi Massimo Pigliucci, Stoisisme bukan berarti menghindar dari dunia atau menjadi apatis terhadap penderitaan. Sebaliknya, Stoisisme adalah filosofi yang mendorong kita untuk hadir sepenuhnya, namun tetap setia pada kebajikan, bahkan ketika dunia tidak.

Keteguhan moral bukan soal menjadi sempurna, tetapi konsisten dalam upaya hidup bijak. Dengan latihan mental yang berkelanjutan, dan refleksi mendalam, siapa pun bisa menjadi pribadi yang kuat dan bermoral di tengah dunia yang penuh ujian.

Ketika krisis datang—entah bencana, konflik, atau kehilangan arah moral—jawaban terbaik bukanlah panik atau menyerah. Jawaban terbaik adalah menjadi pribadi yang tidak kehilangan dirinya sendiri.