Mengapa Ajaran Epictetus Jadi Panduan Hidup Milenial Hari Ini?

Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Di tengah era digital yang serba cepat, penuh distraksi, dan tekanan sosial yang semakin besar, generasi milenial kerap mencari pegangan hidup yang mampu memberi ketenangan batin. Uniknya, solusi tersebut justru banyak ditemukan dalam kebijaksanaan filsafat kuno, salah satunya dari tokoh Stoik terkenal asal Yunani, Epictetus.

Seneca: Ukuran Kekayaan yang Sejati adalah Tahu Kapan Cukup

Lahir sebagai budak sekitar tahun 50 Masehi, Epictetus hidup dalam keterbatasan. Namun, keterbatasan itu tidak menghalangi dirinya untuk menjadi salah satu pemikir terbesar dalam sejarah filsafat. Filosofi hidupnya yang dikenal sebagai bagian dari Stoikisme justru tumbuh dari pengalaman hidupnya yang keras. Ajarannya bukan sekadar teori, melainkan panduan praktis tentang bagaimana seseorang bisa hidup dengan damai, bebas, dan bermakna — sesuatu yang justru sangat dibutuhkan oleh milenial hari ini.

1. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

Seneca: Apa yang Diberikan Nasib Padamu, Bukanlah Milikmu yang Sejati

Epictetus berkata, “Kebahagiaan dan kebebasan dimulai dari pemahaman yang jelas tentang satu hal: ada beberapa hal yang ada dalam kendali kita, dan beberapa hal tidak.”

Bagi generasi milenial yang terbiasa hidup dengan tekanan media sosial, standar hidup tinggi, serta ekspektasi orang lain, ajaran ini seperti napas segar. Epictetus mengajak kita untuk berhenti khawatir terhadap hal-hal di luar kendali, seperti opini orang lain, algoritma media sosial, atau tren viral. Fokuslah pada respons, sikap, dan keputusan pribadi — itulah yang benar-benar berada di tangan kita.

Seneca: Mengapa Kekayaan Bisa Jadi Budak atau Tuan, Tergantung Siapa Pemiliknya

2. Mengubah Perspektif terhadap Kesulitan

Dalam ajaran Stoik, termasuk dari Epictetus, setiap kesulitan bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi dengan sikap bijaksana. Ia mengatakan, “Bukan apa yang terjadi kepadamu yang penting, tapi bagaimana kamu bereaksi terhadapnya.”

Banyak milenial menghadapi krisis identitas, burnout kerja, atau kegagalan hubungan. Tapi Epictetus mengajarkan bahwa semua itu bukan musuh, melainkan medan latihan untuk memperkuat karakter dan kedewasaan. Alih-alih mengeluh, kita diajak untuk melihat tantangan sebagai jalan menuju pertumbuhan.

3. Membangun Kebebasan Batin

Di tengah budaya konsumtif dan pencarian validasi dari luar, Epictetus memberikan peringatan tegas: “Orang yang tidak mengendalikan dirinya bukanlah orang bebas.”

Kebebasan sejati bukan tentang bisa melakukan apa pun, tetapi kemampuan untuk tidak diperbudak oleh keinginan dan emosi. Milenial yang mudah tergoda oleh gaya hidup instan, FOMO (fear of missing out), atau tekanan karier, bisa belajar dari Epictetus bahwa kemerdekaan terbesar adalah mengendalikan diri sendiri.

4. Hidup Sederhana dan Bersyukur

Epictetus menekankan bahwa kekayaan sejati bukanlah memiliki banyak, melainkan menginginkan sedikit. Ini sejalan dengan gaya hidup minimalis dan kesadaran finansial yang kini mulai banyak dianut oleh generasi muda.

Dengan semakin mahalnya biaya hidup dan sulitnya mencapai standar ideal masyarakat, banyak milenial mulai mengadopsi gaya hidup sadar — fokus pada hal esensial, mengurangi distraksi, dan lebih menghargai apa yang sudah dimiliki. Ajaran Epictetus sangat relevan dengan pendekatan ini.

5. Keteguhan Moral di Tengah Arus Budaya

Salah satu kutipan terkenal Epictetus berbunyi: “Jangan hanya membaca buku. Tunjukkan bahwa kamu belajar menjadi manusia yang lebih baik.”

Di era digital saat banyak orang berlomba membangun citra di media sosial, Epictetus justru mendorong integritas. Menjadi baik bukan untuk mendapat pujian, tapi karena memang itu yang benar untuk dilakukan. Bagi milenial yang mencari makna lebih dari sekadar “likes” dan “followers”, nilai-nilai ini memberikan arah baru yang lebih membumi.

6. Relevansi di Dunia Kerja dan Hubungan Sosial

Dalam dunia kerja yang menuntut, Epictetus mengajarkan untuk tidak terlalu reaktif terhadap pujian atau hinaan. Dalam hubungan sosial, ia mengingatkan kita untuk tetap tenang dan tidak membalas dendam atau menyalahkan. Sikap ini mendorong profesionalisme, empati, dan stabilitas emosional — keterampilan lunak yang sangat berharga di lingkungan modern.

7. Stoikisme di Balik Layar Gadget

Banyak platform digital sekarang menawarkan aplikasi meditasi, pengembangan diri, dan self-coaching — banyak dari prinsipnya berakar pada Stoikisme. Bahkan tokoh-tokoh seperti Ryan Holiday atau buku-buku seperti The Daily Stoic membuat ajaran Epictetus semakin populer di kalangan milenial dan Gen Z. Dengan kata lain, Stoikisme telah hadir di balik layar gadget kita — bukan sebagai dogma, melainkan panduan harian.

Penutup: Filsafat Lama untuk Masalah Baru

Ajaran Epictetus adalah jawaban bijak atas kekosongan makna yang banyak dirasakan generasi muda. Filsafatnya bukan tentang berteori, tetapi tentang praktik hidup yang membuat kita lebih kuat, tenang, dan penuh rasa syukur.

Ketika dunia luar tak bisa kita kendalikan, saat algoritma dan opini publik begitu bising, suara Epictetus menjadi penuntun yang tenang. Ia mengajarkan bahwa kendali atas hidup bukan soal dunia luar, tapi dunia batin.

Tidak heran jika kini semakin banyak milenial mulai membaca, merenungi, dan menerapkan prinsip Stoik — karena dari sanalah mereka menemukan pegangan hidup yang tak lekang oleh zaman.