Marcus Aurelius: “Hidup Itu Singkat, Buah dari Hidup Ini’Karakter yang Baik dan Tindakan untuk Kebaikan Bersama”
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Di tengah hiruk-pikuk zaman modern yang serba cepat dan penuh tekanan, kata-kata bijak dari Kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik terkenal, Marcus Aurelius, kembali menggema dan relevan:
“Hidup itu singkat — buah dari hidup ini adalah karakter yang baik dan tindakan untuk kebaikan bersama.”
(Marcus Aurelius, Meditations)
Pernyataan tersebut bukan hanya renungan personal, melainkan juga seruan moral yang mendalam bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan yang penuh arti. Di balik kutipan itu, tersimpan filosofi Stoisisme yang menekankan pentingnya karakter, pengendalian diri, serta kontribusi nyata terhadap masyarakat.
Makna Mendalam di Balik Kalimat Singkat
Filsuf kelahiran tahun 121 Masehi itu dikenal karena pemikirannya yang praktis dan penuh keteguhan batin. Dalam kutipan ini, Aurelius mengingatkan bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas. Maka dari itu, apa yang benar-benar berarti bukanlah pencapaian material semata, melainkan karakter pribadi yang mulia dan dampak positif yang kita berikan bagi orang lain.
Menurut Stoisisme, tujuan utama hidup bukanlah kesenangan, kekayaan, atau popularitas, melainkan kebajikan (virtue). Kebajikan itu sendiri terwujud dalam karakter yang jujur, bijaksana, berani, dan adil — empat nilai utama dalam filsafat Stoik.
Pentingnya Karakter Baik
Karakter baik adalah fondasi dari segala perbuatan yang berdampak positif. Marcus Aurelius percaya bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi dibentuk melalui kebiasaan, refleksi, dan tindakan konsisten.
Di tengah dunia yang sering kali dipenuhi dengan kepalsuan, manipulasi, dan egoisme, karakter menjadi mata uang moral yang semakin langka namun sangat dibutuhkan. Seseorang dengan karakter baik tidak akan tergoyahkan oleh godaan kekuasaan atau popularitas. Ia bertindak berdasarkan nilai, bukan tekanan sosial.
Tindakan untuk Kebaikan Bersama
Aurelius juga menekankan pentingnya kontribusi terhadap masyarakat. Stoisisme tidak mengajarkan egoisme, melainkan mengajak individu untuk menjadi bagian dari “polis” — komunitas yang saling bergantung dan membutuhkan.
Tindakan untuk kebaikan bersama mencakup hal-hal sederhana seperti membantu sesama, bersikap jujur dalam pekerjaan, hingga terlibat dalam upaya sosial dan lingkungan. Dalam konteks Indonesia hari ini, nilai ini bisa diwujudkan melalui dukungan terhadap pendidikan, pemberdayaan UMKM, atau menjaga toleransi dalam keberagaman.
Relevansi di Era Digital
Di era digital, kita sering terjebak dalam pencitraan dan persaingan tanpa akhir. Media sosial, algoritma, dan budaya konsumtif telah memalingkan fokus kita dari nilai-nilai esensial menuju validasi eksternal. Dalam konteks ini, pesan Marcus Aurelius justru menjadi penyeimbang yang menuntun kita kembali pada makna hidup yang sejati.
Karakter baik bukan sesuatu yang ditampilkan, tetapi sesuatu yang dijalani. Tindakan untuk kebaikan bersama bukanlah proyek pencitraan, melainkan dedikasi yang tulus.
Penutup
Marcus Aurelius mengajak kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang singkat ini dengan hal-hal sepele. Ia mengajak kita untuk memperdalam karakter dan menciptakan dampak positif bagi orang lain. Jika semua orang mengambil filosofi ini sebagai pedoman hidup, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih baik dan lebih manusiawi.
Seperti yang diyakini para Stoik, kita tidak bisa mengendalikan segala hal, tetapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Dan dari kendali itu, lahirlah kekuatan sejati — kekuatan untuk membentuk karakter dan membuat hidup ini berguna bagi orang lain.