Epictetus: Kebohongan Itu Mudah, Tapi Tetap Tidak Bermoral

Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

“We tell lies, yet it is easy to show that lying is immoral.”
Epictetus

25 Kutipan Friedrich Nietzsche yang Masih Menjadi Inspirasi Hingga Era Modern

Malang, WISATA - Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering berbohong—kadang untuk alasan yang tampaknya sepele, seperti menyenangkan orang lain, menyelamatkan diri dari kesulitan, atau menjaga citra pribadi. Namun, bagi Epictetus, sang filsuf Stoik, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan kebohongan. Ia menegaskan bahwa berbohong itu mudah, tetapi tetap merupakan tindakan yang tidak bermoral.

Normal Bukan Berarti Benar

Pierre Hadot: Lepas dari Ilusi Kepemilikan, Temukan Kebahagiaan Sejati dari Dalam Diri

Kebohongan sering dianggap wajar dalam masyarakat. Bahkan, banyak yang memandang kebohongan sebagai bagian dari “strategi sosial” atau “kecerdikan emosional.” Namun, Epictetus mengingatkan bahwa moralitas tidak ditentukan oleh kebiasaan umum, melainkan oleh prinsip kebenaran.

Kita bisa saja dibiasakan untuk menerima kebohongan kecil—dari iklan yang menyesatkan, janji politik yang tak ditepati, hingga basa-basi yang menyembunyikan maksud sebenarnya. Tapi kebiasaan bukanlah pembenaran. Dalam pandangan Epictetus, berbohong merusak integritas pribadi dan menghancurkan kepercayaan, yang merupakan fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang sehat.

Pierre Hadot: Setiap Tantangan Adalah Kesempatan untuk Tumbuh dan Belajar, Bukan Alasan untuk Menyerah

Daya Rusak dari Kebohongan

Setiap kebohongan, sekecil apa pun, menciptakan retakan dalam karakter seseorang. Ketika kita terbiasa berdusta, maka kita mulai kehilangan kemampuan untuk menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Kita belajar menipu bukan hanya orang lain, tetapi juga diri sendiri.

Lebih dari itu, kebohongan melahirkan kecemasan. Seseorang yang hidup dalam kebohongan akan selalu dibayangi rasa takut—takut ketahuan, takut kehilangan kepercayaan, takut menghadapi kebenaran yang selama ini disembunyikan. Bukankah jauh lebih damai untuk hidup jujur, meski terkadang menyakitkan, dibanding hidup dalam kebohongan yang menghantui?

Stoisisme: Jalan Menuju Kebenaran

Filsafat Stoik mengajarkan untuk hidup selaras dengan kebajikan, dan salah satunya adalah kejujuran (truthfulness). Dalam pandangan Epictetus, integritas pribadi tidak bisa dibangun di atas kepalsuan. Kebohongan memisahkan manusia dari dirinya sendiri. Ketika kita berbohong, kita sedang menciptakan jarak antara apa yang kita pikirkan dan apa yang kita ucapkan—dan dari situlah lahir penderitaan batin.

Stoik mengajak kita untuk tidak hanya berkata benar, tetapi juga berpikir benar, merasa benar, dan hidup benar. Dengan kata lain, kejujuran bukan sekadar etika lisan, tapi fondasi dari keberanian dan ketenangan jiwa.

Refleksi: Mengapa Kita Berbohong?

Mengapa kita masih berbohong meski tahu itu salah? Mungkin karena takut. Takut kehilangan cinta, pekerjaan, kekuasaan, atau citra yang telah kita bangun. Namun justru di sinilah ujiannya: apakah kita akan memilih kenyamanan palsu, atau kebenaran yang membebaskan?

Epictetus tidak menoleransi alasan-alasan emosional untuk membenarkan kebohongan. Ia mendorong kita untuk menanggung konsekuensi dari kejujuran, dan menganggap itu sebagai latihan moral yang memurnikan karakter kita.

Kesimpulan: Kejujuran sebagai Tindakan Filosofis

Kutipan Epictetus adalah pengingat tegas bahwa meskipun berbohong itu mudah dan sering dilakukan, hal tersebut tetap tidak bermoral. Kita harus berani menghadapi kenyataan dengan kejujuran, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Hanya dengan begitu, kita bisa hidup selaras dengan nilai-nilai tertinggi sebagai manusia rasional dan bermartabat.

Dalam dunia yang sering memaklumi kepalsuan demi keuntungan sesaat, ajaran Epictetus adalah seruan untuk kembali kepada prinsip: bahwa hidup yang benar dan utuh hanya bisa dibangun di atas fondasi kejujuran.