Massimo Pigliucci: “Merenungkan Kematian Membantumu Hidup dengan Lebih Bermakna”
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Di tengah kehidupan modern yang sibuk dan penuh distraksi, pembicaraan tentang kematian sering kali dihindari. Namun bagi Massimo Pigliucci—filsuf Stoik kontemporer dan penulis buku How to Be a Stoic (2017)—kematian bukanlah momok yang harus ditakuti, melainkan perenungan yang justru memperkaya makna hidup. Salah satu kutipan filosofisnya yang paling menggugah menyatakan:
“Merenungkan kematian membantumu hidup dengan lebih bermakna.”
Pernyataan ini mencerminkan tradisi panjang dalam filsafat Stoik, khususnya praktik memento mori—"ingatlah bahwa kamu akan mati"—sebuah prinsip yang dirancang bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangunkan kesadaran akan betapa berharganya setiap momen kehidupan.
Kematian dalam Perspektif Stoik
Dalam ajaran Stoik klasik, kematian dipandang sebagai bagian alami dari kehidupan yang tidak bisa dihindari. Para Stoik seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius meyakini bahwa kematian bukan sesuatu yang perlu ditangisi, melainkan fakta yang harus diterima secara rasional. Pigliucci menghidupkan kembali semangat ini dalam konteks zaman modern, dengan menekankan bahwa mengingat kematian dapat menjadi pengingat untuk tidak menyia-nyiakan waktu, menjaga nilai-nilai hidup, dan membuat keputusan yang lebih bermakna.
“Filosofi adalah persiapan untuk mati,” tulis Plato dalam Phaedo—dan Pigliucci mengadopsi gagasan ini dengan nada praktis: mengingat bahwa kita akan mati bisa membantu kita hidup dengan lebih fokus, lebih jujur, dan lebih berani.
Mengapa Perlu Merenungkan Kematian?
1. Meningkatkan Kesadaran Waktu
Ketika kita sadar bahwa waktu kita terbatas, kita cenderung lebih selektif terhadap bagaimana kita menghabiskannya. Pekerjaan, hubungan, dan kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai hidup kita akan lebih mudah dilepaskan.
2. Mendorong Tindakan Autentik
Merenungkan kematian dapat menjadi katalis untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai diri. Ia memotong ego, menghilangkan kemunafikan, dan mendorong keaslian dalam hidup sehari-hari.
3. Mengurangi Ketakutan dan Kecemasan
Dengan menerima kematian sebagai hal yang alamiah dan tidak dalam kendali kita, pikiran menjadi lebih tenang. Kita berhenti menolak yang tak terelakkan dan mulai hidup dalam kedamaian batin.
4. Menumbuhkan Rasa Syukur
Setiap momen menjadi lebih berharga. Hal-hal kecil—seperti secangkir kopi hangat, tawa bersama teman, atau sinar matahari pagi—menjadi bagian dari keajaiban eksistensi yang layak dirayakan.
Latihan Stoik: Memento Mori dalam Kehidupan Sehari-Hari
Massimo Pigliucci mendorong praktik kontemplatif sederhana yang bisa dilakukan siapa pun:
- Tulis dalam jurnal setiap pagi atau malam: "Aku bisa mati hari ini. Apakah aku telah hidup dengan benar?"
- Letakkan simbol kematian kecil di meja kerja—seperti tengkorak mini atau kutipan tentang kefanaan—sebagai pengingat visual.
- Renungkan kehilangan secara sadar: bayangkan suatu hari orang-orang yang kita cintai tidak akan ada lagi. Ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangun penghargaan yang lebih dalam terhadap hubungan kita sekarang.
Refleksi dari Para Filsuf Stoik Klasik
Seneca menulis dalam surat-surat moralnya kepada Lucilius: “Kematian tidaklah menakutkan; ia adalah akhir dari semua ketakutan.” Sementara Marcus Aurelius mencatat dalam Meditations: “Engkau bisa mati kapan saja, jadi biarkan tindakan, pikiran, dan ucapanmu selalu pantas untuk itu.”
Pigliucci mengadaptasi pesan ini dalam gaya hidup modern—menghindari distraksi digital yang berlebihan, menyusun prioritas hidup berdasarkan nilai, dan tidak menunda kebaikan yang bisa dilakukan hari ini.
Penutup: Hidup Bermakna Dimulai dengan Kesadaran akan Akhir
Dengan merenungkan kematian secara sadar, kita tidak sedang meromantisasi kesedihan, melainkan menanamkan perspektif yang lebih dalam terhadap hidup. Massimo Pigliucci menyajikan kematian bukan sebagai jurang yang menakutkan, melainkan sebagai cermin yang memantulkan betapa berharganya kesempatan untuk hidup.
Ketika kita menyadari bahwa waktu kita terbatas, kita akan lebih mungkin untuk mencintai tanpa syarat, bekerja dengan kejujuran, dan hidup dengan niat baik. Sebab pada akhirnya, bukan panjangnya hidup yang menentukan nilainya, melainkan kedalaman maknanya.