Epictetus: “Ingatkan Dirimu Bahwa Apa yang Kamu Cintai Itu Fana”

Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

“Remind yourself that what you love is mortal … at the very moment you are taking joy in something, present yourself with the opposite impressions. What harm is it, just when you are kissing your little child, to say: Tomorrow you will die, or to your friend similarly: Tomorrow one of us will go away, and we shall not see one another any more.”
Epictetus

Tips Menghadapi Perubahan Hidup Menurut Chrysippus

Jakarta, WISATA - Hidup sering kali membuat kita terlena dalam kenikmatan sesaat—momen-momen kebahagiaan yang seolah tak akan pernah usai. Kita mencintai orang-orang terdekat kita, pasangan, anak-anak, sahabat, dan keluarga, seakan-akan mereka akan selalu ada bersama kita. Namun, filsuf Stoik Epictetus mengingatkan kita dengan cara yang mengejutkan: bahwa semua yang kita cintai adalah fana, dan suatu hari, mungkin besok, segalanya bisa berubah.

Memento Mori: Mengingat Kematian untuk Menghargai Kehidupan

Belajar Sabar dari Chrysippus: Jangan Reaktif, Tetap Rasional

Konsep “Memento Mori”—ingatlah bahwa kamu akan mati—merupakan bagian tak terpisahkan dari filosofi Stoik. Epictetus, dalam salah satu kutipan terkenalnya, mengajak kita untuk tidak hanya menyadari kefanaan diri kita sendiri, tetapi juga kefanaan segala hal yang kita cintai.

Ketika kita mencium anak kita dengan penuh kasih, ia menganjurkan agar kita secara sadar membisikkan kepada diri sendiri: “Besok kamu bisa saja tiada.” Saat bersama sahabat dekat, kita diingatkan untuk menyadari: “Besok, salah satu dari kita mungkin pergi, dan tidak akan bertemu lagi.”

Hidup Selaras dengan Alam: Ajaran Stoik Chrysippus yang Terlupakan

Bukan untuk menakuti, tetapi untuk menghargai sepenuhnya setiap detik yang kita jalani.

Mengapa Kesadaran akan Kefanaan Itu Penting?

1.     Membuat Kita Lebih Hadir Penuh
Sering kali kita terjebak dalam rutinitas, merasa bosan, bahkan terganggu dengan kehadiran orang yang kita cintai. Dengan mengingat bahwa waktu bersama mereka terbatas, kita akan lebih hadir secara emosional dan spiritual.

2.     Meningkatkan Rasa Syukur
Jika kita sadar bahwa momen bersama orang-orang terkasih bisa menjadi yang terakhir, maka setiap pelukan, tawa, dan percakapan menjadi sesuatu yang sangat berharga.

3.     Mengurangi Ketakutan Akan Kehilangan
Dengan melatih pikiran untuk menerima kemungkinan kehilangan, kita tidak lagi terkejut atau terpuruk saat hal itu benar-benar terjadi. Ini bukan berarti menjadi dingin, melainkan menjadi kuat secara emosional.

4.     Menghindarkan Kita dari Sikap Menuntut dan Menguasai
Bila kita memahami bahwa seseorang bisa pergi kapan saja, kita tidak akan berusaha mengikat atau mengendalikan mereka. Kita akan lebih menghargai kebebasan dan pilihan mereka.

Mengelola Cinta dan Kehilangan dalam Perspektif Stoik

Filosofi Stoik bukanlah ajaran yang kaku dan tanpa perasaan. Sebaliknya, ia mengajarkan cinta yang dalam—namun bukan cinta yang melekat secara berlebihan. Epictetus mengajarkan cinta yang sadar, cinta yang menghargai, dan cinta yang siap melepaskan saat waktunya tiba.

Dengan perspektif ini, kita bisa mencintai tanpa takut kehilangan, karena kita telah berdamai dengan kefanaan sejak awal. Kita tidak menyangkal kenyataan pahit, tapi menghadapinya dengan kepala tegak.

Mengajarkan Nilai Ini Sejak Dini

Sebagai orang tua, pasangan, atau sahabat, kita bisa menanamkan nilai ini dalam lingkungan kita. Tidak perlu berbicara tentang kematian dengan nada muram, tapi tanamkan kesadaran bahwa waktu itu terbatas, dan karena itu, harus digunakan sebaik mungkin.

Kita bisa mengajarkan anak-anak untuk tidak menyia-nyiakan waktu dengan kebencian, dendam, atau kecemasan yang tidak perlu. Kita bisa membentuk keluarga yang saling mencintai dengan sepenuh hati, karena mereka sadar bahwa mungkin besok segalanya akan berubah.

Epictetus dan Realitas Hari Ini

Di era modern ini, kita hidup dalam dunia yang menolak kefanaan. Kita menutupi tanda-tanda penuaan, menolak membicarakan kematian, dan terus-menerus mengejar keabadian semu. Tapi seperti yang dikatakan Epictetus, menghadapi realitas kefanaan justru membawa kita pada kebebasan sejati.

Bila kita bisa menerima bahwa segala sesuatu bersifat sementara, kita bisa hidup dengan lebih ringan. Kita tidak lagi memaksakan kontrol atas hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa tertawa lebih lepas, menangis lebih tulus, dan mencintai dengan lebih jujur.

Penutup: Cinta yang Tulus Adalah Cinta yang Siap Kehilangan

Epictetus mengajarkan bahwa mencintai dengan kesadaran penuh akan kefanaan bukanlah kelemahan, melainkan bentuk cinta yang paling murni. Saat kita mampu berkata dalam hati, “Aku mencintaimu, dan aku sadar bahwa suatu hari kamu akan pergi,” maka kita benar-benar mencintai tanpa pamrih.

Jangan tunggu hingga kehilangan menyadarkan kita akan nilai sebuah momen. Sadari sekarang, hargai sekarang, dan hiduplah dengan kehadiran penuh.