Massimo Pigliucci: "Setiap Tantangan dalam Hidup adalah Kesempatan untuk Melatih Kebajikan"

Massimo Pigliucci
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah gempuran tantangan hidup yang tiada henti—entah itu tekanan pekerjaan, hubungan yang retak, keuangan yang tak menentu, hingga kondisi dunia yang makin tak bisa diprediksi—sering kali kita merasa terpuruk. Namun, ada sebuah sudut pandang yang bisa mengubah cara kita melihat semua itu. Bukan sebagai beban, tapi sebagai ladang latihan. Massimo Pigliucci, seorang filsuf modern yang menjadi suara penting dalam kebangkitan Stoikisme di era sekarang, pernah berkata:

Seneca: “Waktu Akan Menemukan Kebenaran”

“Setiap tantangan dalam hidup adalah kesempatan untuk melatih kebajikan.”

Kutipan itu terdengar sederhana, tapi jika direnungkan dalam-dalam, ia mengandung kekuatan transformasional. Ia mengajak kita untuk memandang hidup bukan sebagai serangkaian cobaan yang harus dihindari, tetapi sebagai panggung untuk menumbuhkan karakter, memperkuat nilai-nilai, dan menjadi manusia yang lebih tangguh serta bijak.

Seneca: “Tarik Diri Sejenak, Temukan Kembali Kedamaian Batin”

Tantangan Tak Terhindarkan, Tapi Pilihan Kita Menentukan

Stoikisme sejak awal mengajarkan bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atas apa yang terjadi di luar diri kita. Bencana bisa datang, orang bisa mengecewakan kita, bahkan tubuh kita bisa sakit sewaktu-waktu. Tapi di balik semua ketidakpastian itu, ada satu hal yang selalu bisa kita pilih: cara kita meresponsnya.

Kutipan Socrates yang Relevan untuk Anak Muda Milenial dan Gen Z

Massimo Pigliucci, dalam banyak tulisan dan ceramahnya, sering menekankan bahwa tantangan adalah momen-momen di mana kita diuji, bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk ditempa. Seperti logam yang harus melewati api untuk menjadi kuat, karakter manusia juga hanya bisa tumbuh melalui ujian.

Jadi, ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, alih-alih mengeluh atau menyerah, kita bisa melihatnya sebagai momen untuk melatih kebajikan. Misalnya, ketika menghadapi seseorang yang menyebalkan, kita bisa belajar bersabar. Ketika kehilangan sesuatu, kita bisa belajar ikhlas. Ketika gagal, kita bisa belajar rendah hati. Semua itu adalah pelatihan batin yang jauh lebih berharga dari sekadar kenyamanan sesaat.

Apa Itu Kebajikan dalam Pandangan Stoik?

Dalam Stoikisme, kebajikan adalah inti dari kehidupan yang baik. Kebajikan bukan hanya soal menjadi orang “baik” secara umum, tetapi lebih spesifik: keberanian, kebijaksanaan, keadilan, dan pengendalian diri. Empat pilar ini menjadi fondasi bagaimana seorang Stoik hidup dan bertindak, bahkan di tengah dunia yang kacau.

Massimo Pigliucci menegaskan bahwa kita tidak perlu menjadi pahlawan super untuk melatih kebajikan. Justru sebaliknya, kebajikan paling murni justru terwujud dalam hal-hal sederhana sehari-hari. Saat kita memilih untuk tidak membalas dendam, ketika kita bersikap jujur meski sulit, saat kita menunda kesenangan demi hal yang lebih baik—itulah saat kebajikan dilatih.

Dan ini tidak terjadi dengan sendirinya. Diperlukan kesadaran, refleksi, dan latihan terus-menerus. Dalam hal ini, hidup ibarat gym mental dan spiritual. Setiap konflik, rintangan, atau kegagalan adalah "alat latihan" yang memperkuat otot karakter kita.

Dari Teori ke Praktik: Bagaimana Kita Melatih Kebajikan?

Bagi Pigliucci, Stoikisme bukan hanya bahan diskusi akademis. Ini adalah filsafat yang harus dipraktikkan sehari-hari. Dalam bukunya How to Be a Stoic, ia menjelaskan bagaimana pendekatan Stoik bisa dijadikan panduan hidup yang praktis, terutama ketika menghadapi tantangan.

Salah satu latihan yang ia rekomendasikan adalah refleksi harian, di mana kita meninjau kembali apa saja tantangan yang kita alami hari itu dan bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita sudah bersikap adil? Apakah kita bersabar? Apakah kita mengendalikan emosi? Jika belum, itu bukan kegagalan, melainkan kesempatan untuk mencoba lagi esok hari.

Pigliucci juga menyarankan untuk memulai hari dengan kesiapan mental, membayangkan kemungkinan tantangan yang mungkin datang—lalu menyiapkan diri secara batin untuk menghadapinya dengan kepala dingin dan hati bijak.

Menemukan Arti di Balik Kesulitan

Bagi sebagian orang, melihat tantangan sebagai “berkah terselubung” terdengar klise. Tapi Pigliucci tidak berbicara dari sudut pandang idealisme kosong. Ia mengajak kita untuk mencari makna dalam kesulitan, bukan karena itu romantis, tetapi karena itulah satu-satunya cara agar kita tidak terhancur oleh kehidupan.

Ketika kita sadar bahwa penderitaan bisa membuat kita lebih kuat, bahwa kehilangan bisa membuat kita lebih menghargai, bahwa rasa sakit bisa membuka hati untuk empati—maka setiap pengalaman pahit punya nilainya sendiri.

Dengan sikap seperti ini, hidup menjadi ladang pembelajaran yang tak ada habisnya. Dan kita menjadi pelajar yang aktif, bukan korban dari keadaan.

Filsafat untuk Semua Orang, Bukan Hanya untuk Kaum Intelektual

Salah satu kontribusi terbesar Massimo Pigliucci adalah membawa Stoikisme keluar dari ruang kuliah dan menjadikannya relevan untuk semua orang. Ia menulis dengan gaya yang ringan, berbicara dengan bahasa yang sederhana, dan memberi contoh yang dekat dengan kehidupan nyata.

Karena itu, kutipan “setiap tantangan adalah kesempatan untuk melatih kebajikan” bukanlah ajakan untuk memaksakan diri, melainkan undangan untuk membuka mata. Bahwa di balik tekanan hidup, ada peluang untuk berkembang. Bahwa setiap kali kita bisa merespons dengan sabar, jujur, dan berani, kita sedang mencetak kemenangan batin—yang nilainya jauh lebih dalam dari pencapaian lahiriah.

Menutup dengan Refleksi: Apa yang Sedang Kita Latih Hari Ini?

Coba pikirkan tantangan yang sedang kamu hadapi hari ini. Mungkin tekanan pekerjaan yang membuat stres. Mungkin konflik keluarga yang membuat hati perih. Atau mungkin ketidakpastian hidup yang membuatmu cemas.

Sekarang, daripada bertanya “kenapa ini terjadi padaku?”, coba ubah pertanyaannya: “Kebajikan apa yang bisa aku latih melalui situasi ini?” Pertanyaan ini mungkin tidak mengubah kenyataan, tapi ia bisa mengubah caramu melihat dan menjalaninya. Dan dari sanalah, perubahan sejati dimulai.

Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan Massimo Pigliucci, hidup bukan soal menghindari tantangan, tapi tentang bagaimana kita tumbuh karenanya.