Plato dan Konsistensi Filosofis: Dialog sebagai Cermin Gagasan yang Berkembang
- Image Creator/Handoko
Kesadaran Plato akan pentingnya kesinambungan ini menunjukkan bahwa ia tidak memulai dari nol dalam setiap tulisannya. Meski ia memperkenalkan ide-ide baru dan tantangan-tantangan segar, ia tetap mengharapkan pembacanya untuk membawa serta pemahaman dari diskusi-diskusi sebelumnya. Bahkan ketika tokoh-tokoh dalam dialog berganti, seperti Meno yang tidak muncul kembali dalam Phaedo, atau Timaeus yang tidak tampil dalam Republic, benang merah pemikiran tetap terjaga.
Konsistensi Pemikiran dan Tujuan Filsafati
Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa Plato menyusun karyanya dengan struktur sedemikian rupa? Mengapa Socrates terus-menerus mempertahankan eksistensi “bentuk” (forms) dalam berbagai dialog? Dan mengapa saat peran utama berganti dari Socrates ke tokoh lain seperti sang “pengunjung dari Elea”, konsep dasar seperti bentuk dan jiwa tetap dipertahankan dan dibela?
Jawaban yang paling masuk akal adalah bahwa Plato tidak sekadar menciptakan dialog sebagai alat provokasi intelektual atau latihan retoris semata. Ia menggunakan karakter-karakter utamanya sebagai medium untuk menyampaikan dan membela suatu doktrin yang ia anggap benar dan penting. Ketika Socrates menyatakan bahwa bentuk-bentuk seperti keindahan, keadilan, dan kebaikan memiliki eksistensi independen, ia tidak sedang bermain-main dengan ide; ia sedang menyampaikan inti dari metafisika Platonik.
Begitu pula saat sang pengunjung dari Elea mengkritik pandangan metafisika yang menolak entitas nonjasmani seperti jiwa dan bentuk, ia sedang melanjutkan warisan argumen yang telah ditegakkan oleh Socrates. Kesamaan posisi ini menunjukkan bahwa keduanya adalah saluran dari pemikiran Plato sendiri. Bahkan, saat tokoh-tokohnya berbeda, posisi filosofis mereka tetap memiliki konsistensi.
Plato Sebagai Penulis dan Filsuf
Dengan demikian, untuk memahami karya Plato tidak cukup hanya mengamati karakter dan dialog mereka. Kita juga harus berani menafsirkan maksud dan keyakinan pribadi sang penulis. Meski Plato tidak pernah berbicara langsung dalam tulisannya, melalui pengulangan argumen, kesinambungan tokoh, dan struktur intertekstual antar dialog, ia secara tidak langsung menyampaikan sikap dan pemikirannya.