Memahami Tujuan dan Bentuk Dialog dalam Karya-Karya Plato: Antara Suara Karakter dan Gagasan Sang Filsuf

Plato Fisuf Yunani Kuno
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA — Karya-karya Plato selama ini dianggap sebagai pondasi utama dalam filsafat Barat. Namun, cara penyampaiannya yang khas—melalui bentuk dialog dramatis tanpa narasi langsung dari sang penulis—telah memicu perdebatan panjang di kalangan filsuf dan akademisi. Pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah mungkin kita benar-benar mengetahui keyakinan filosofis Plato, jika ia sendiri tak pernah berbicara secara langsung dalam tulisannya?

5 Ajaran Penting Plato yang Masih Relevan di Era Modern

Dalam hampir seluruh karya dialogisnya, Plato memilih untuk tidak menggunakan suara dirinya sendiri sebagai narator. Ia tidak pernah secara eksplisit menyatakan “ini adalah pemikiranku”. Sebaliknya, ia menempatkan gagasan dan argumen dalam mulut tokoh-tokohnya, yang paling terkenal adalah Socrates. Namun, tidak semua dialog menampilkan Socrates secara dominan. Dalam Laws, misalnya, Socrates tidak hadir sama sekali. Sementara dalam Timaeus dan Critias, peran Socrates hanya sebatas pembuka diskusi, kemudian dilanjutkan oleh karakter lain yang menyampaikan pemaparan panjang.

Kondisi ini menimbulkan kebingungan: apakah kita boleh menyimpulkan bahwa pandangan yang diutarakan oleh karakter-karakter dalam dialog Plato mencerminkan keyakinannya sendiri? Apakah benar kita dapat berbicara tentang “filsafat Plato”? Atau justru, dengan menafsirkan secara langsung bahwa argumen seorang karakter mewakili Plato, kita telah menyalahi semangat dari bentuk dialog yang ia bangun?

Socrates: Filosofi Hidup yang Membuat Kita Tidak Takut Mati

Strategi Naratif yang Penuh Teka-Teki

Berbeda dengan filsuf sezamannya, Plato secara konsisten menghindari bentuk penulisan yang saat itu populer: traktat filosofis. Ia tidak menulis uraian sistematis tentang etika, logika, atau metafisika layaknya Aristoteles. Satu-satunya pengecualian mungkin terletak pada Surat Ketujuh, yang keasliannya pun masih diperdebatkan. Dalam surat tersebut, penulis—baik Plato maupun orang yang mengatasnamakannya—menyatakan bahwa hal-hal yang paling dalam dalam filsafat tidak layak ditulis, melainkan hanya disampaikan dalam percakapan privat dengan mereka yang layak.

7 Nasihat Socrates untuk Menjalani Hidup yang Bermakna dan Berpikir Kritis

Penolakan ini menguatkan hipotesis bahwa Plato memang sengaja menghindari menyampaikan filsafatnya secara eksplisit. Bentuk dialog ia gunakan bukan sebagai “panggung untuk mengumumkan kebenaran”, melainkan sebagai sarana bagi pembaca untuk merenung, meragukan, dan menilai sendiri validitas dari suatu argumen.

Antara Karakter dan Pengaruh Sang Penulis

Namun, meski tidak ada suara eksplisit dari Plato dalam karya-karyanya, tidak berarti bahwa sang penulis sama sekali absen. Sebaliknya, seluruh skenario—siapa yang berbicara, argumen mana yang meyakinkan, dan bagaimana respons karakter lain—dirancang sepenuhnya oleh Plato. Dengan kata lain, meski ia bersembunyi di balik dramatis personae, Plato tetap menyampaikan sesuatu.

Misalnya, dalam Republic, Socrates menyampaikan pandangan bahwa keadilan dalam jiwa adalah ketika setiap bagian jiwa menjalankan fungsinya masing-masing. Glaucon dan Adeimantus, dua tokoh utama lain dalam dialog itu, pada akhirnya menerima argumen tersebut. Apakah berarti Plato juga menyetujuinya? Jika kita bersikap netral dan hanya mencatat bahwa “Socrates berargumen demikian”, kita mungkin aman secara metodologis. Tapi jika demikian, kita mungkin kehilangan peluang untuk menggali pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Plato sebagai penulis.

Kenyataannya, untuk memahami sepenuhnya makna dari apa yang dikatakan oleh karakter-karakternya, kita tetap harus menafsirkan niat Plato. Misalnya, ketika suatu argumen tampak sangat kuat dan meyakinkan tokoh lain, mungkinkah itu adalah cara Plato untuk meyakinkan pembacanya? Atau sebaliknya, ketika suatu karakter menyampaikan pandangan yang tampak lemah atau dangkal, apakah itu cara Plato memperlihatkan kelemahan argumen tersebut?

Tujuan Edukatif dari Dialog

Bentuk dialog bukan hanya cara untuk menyampaikan gagasan dengan lebih dramatis. Banyak kalangan filsuf berpendapat bahwa Plato sengaja menggunakan bentuk ini sebagai instrumen edukatif. Tujuannya bukan sekadar untuk menghibur atau menampilkan debat, melainkan untuk menstimulasi pembaca agar berpikir kritis dan aktif.

Dalam Laws, misalnya, karakter utama (yang tidak bernama, hanya disebut “pendatang dari Athena”) menyatakan bahwa setiap undang-undang harus disertai “preludes”—penjelasan filosofis yang memberikan dasar rasional dari hukum tersebut. Dengan kata lain, teks tertulis pun dapat memiliki nilai edukatif, sejauh ia disusun dengan tujuan yang jelas. Maka, bisa disimpulkan bahwa Plato pun menganggap dialog-dialognya sebagai bentuk lain dari “prelude”—pembuka yang mengantar pembaca pada pemahaman yang lebih dalam.

Namun Plato tidak berpikir bahwa kearifan bisa diraih hanya dengan membaca. Dalam Phaedrus, ia melalui Socrates menyampaikan bahwa buku hanyalah pengingat, bukan pengganti percakapan nyata. Buku tidak bisa menjawab pertanyaan pembacanya, tidak bisa menyesuaikan diri dengan konteks lawan bicara. Buku hanya bisa memantik memori dari diskusi-diskusi sebelumnya. Artinya, bagi Plato, teks adalah alat bantu; benih-benih pemahaman tetap harus disemai dalam dialog tatap muka dengan guru yang mumpuni.

Refleksi Akhir: Mencari Plato dalam Dialog

Maka, membaca Plato tidaklah cukup hanya dengan mencermati ucapan para tokohnya. Memahami makna sebenarnya memerlukan upaya untuk menyelami niat sang pengarang. Apakah Plato sedang mengajak kita menerima pandangan tertentu? Atau justru ia ingin kita menolaknya? Di sinilah letak tantangan dan sekaligus daya tarik dari filsafat Plato.

Seperti diungkapkan oleh para peneliti seperti Griswold, Klagge, dan Press, bentuk literatur Plato yang kompleks menuntut pembacanya untuk aktif menafsir, bukan pasif menerima. Ia menulis bukan untuk menjelaskan kebenaran secara gamblang, tetapi untuk mengundang pembacanya berpikir sendiri.

Dengan demikian, pertanyaan seperti “apa filsafat Plato?” mungkin tidak dapat dijawab secara definitif. Namun dari keseluruhan struktur, strategi, dan cara penyampaian dalam karya-karyanya, kita tetap bisa menyimpulkan bahwa Plato memiliki keyakinan filosofis tertentu—yang ingin ia sampaikan kepada pembaca, bukan dengan mengatakan “percaya ini”, tetapi dengan menunjukkan bahwa gagasan-gagasan tertentu layak dipertimbangkan dengan serius.