Socrates Filsuf Buruk Rupa, Hidup Sederhana, dengan Metode Bertanya Bisa Merubah Peradaban Dunia

Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Malang, WISATA – Di puncak Acropolis Athena, patung-patung dewa terpahat dengan sempurna: wajah tampan, proporsi ideal, dan keagungan yang memukau. Standar kecantikan masyarakat Yunani kuno begitu terikat pada arca-arca ilahi tersebut. Namun, di antara keramaian warga Athena, terdapat sosok yang jauh dari standar itu: Socrates. Filsuf agung ini dikenal “seperti satir”—wajahnya berlekuk-lekuk, mata menonjol ke samping, hidung pesek dengan lubang membesar, dan bibir tebal seperti keledai. Rambutnya dibiarkan panjang ala Spartan, tubuhnya kuat, berotot, seringkali berkacak pinggang sambil memukau musuh dalam pertempuran. Ia berjalan tanpa alas kaki, jarang mandi, dan memakai pakaian tidur siang-malam. Penampilannya yang nyentrik menimbulkan kecurigaan di kalangan tentara, meski ia kebal terhadap dingin dan mabuk.

Socrates dan Dilema Moral: Apa Itu Kehidupan yang Baik?

Wajah Buruk Rupa di Antara Patung dewa

Berbeda jauh dengan arca dewi Athena dan Zeus yang menghiasi Acropolis sejak masa mudanya—ketika Socrates memasuki usia tiga puluh—parasnya kerap diperbincangkan. Plato dalam Theaetetus (143e) dan Symposium (215a–c) menyinggung penampilan anehnya. Xenophon pun mencatat dalam Symposium (4.19, 5.5–7) bagaimana mata Socrates berkelip ke kanan dan kiri sekaligus, memungkinkan pandangannya seluas kerang laut. Aristophanes dalam drama Awan-nya (362) menyindir Perut Botol—karikatur Socrates yang kurus lapar, bukan perut buncit penuh. Patung kayu Brancusi kontemporer memotret keanehan itu: dari sudut manapun wajahnya berubah, menampakkan “mata kedua” yang tersembunyi bila satu di depan. Karya Hans Erni juga menangkap sosok “jelek namun mempesona” ini.

Kisah Persidangan Socrates: Ketika Kebenaran Justru Dihukum Mati

Menolak Kehidupan Aristokrat dan Pendidikan Konvensional

Pada akhir abad ke-5 SM, warga Athena—terutama kaum bangsawan—menganggap kesuksesan politik dan kemewahan hidup lebih tinggi derajatnya daripada kerja keras rutin. Mereka menyiapkan diri dengan retorika sophis, pelajaran matematika, musik, dan astronomi agar berbicara meyakinkan di Majelis dan pengadilan. Namun Socrates memilih jalan lain: ia menolak gaji dan gelar guru (Plato, Apology 33a–b), hidup polos, dan mengabdikan diri pada dialektika.

Socrates vs Zaman Modern: Apakah Dunia Hari Ini Butuh Lebih Banyak Filsuf?

Alih-alih menuangkan ajaran seperti ceramah, ia lebih suka memancing lawan bicaranya untuk menemukan kebenaran sendiri melalui tanya-jawab. Ia menolak perumpamaan guru sebagai kendi yang menuang ilmu ke gelas murid. Bagi Socrates, murid adalah penjelajah kebenaran yang dibimbing untuk menyadari kebodohan mereka, kemudian tumbuh rasa ingin tahu yang tulus (Plato, Meno, Theaetetus). Kelakuan tak lazim ini—mengacaukan mitos dan memukau pendengar—membuatnya kerap dicurigai sebagai ancaman intelektual.

Sikap Terhadap Perempuan dan Relasi Pederasti yang Tak Biasa

Berbanding terbalik dengan mayoritas pria Athena, Socrates kerap bicara tentang “pria dan wanita” secara setara. Ia menyanjung pendeta perempuan (Symposium) dan menyebut Aspasia dari Miletus sebagai guru retorikanya (Menexenus). Ia juga menghargai Diotima, pendeta erotika dari Mantinea, sebagai pengajarnya soal cinta suci.

Dalam tradisi pederasti Athena, lelaki matang membimbing remaja melalui hubungan emosional, kadang seksual, demi membentuk karakter pemuda. Socrates pun mengakui daya tariknya pada para muda, tetapi menolak godaan fisik—termasuk dari murid kesayangan Alcibiades (Symposium 219b–d). Baginya, misi luhurnya adalah menyelamatkan jiwa Athena, bukan memuaskan nafsu.

Bisikan Daimonion: Guru Ilahi atau Keganjilan Batin?

Socrates kerap menyebut mengalami bisikan batin—daimonion—yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu. Bisikan ini bukan suara hati moral biasa, melainkan semacam panggilan ilahi yang kadang trivial, kadang genting. Keyakinannya akan pedoman batin inilah yang makin mengundang kecurigaan teman sebangsa—bahkan menjadi salah satu tuduhan kriminalitas intelektual saat ia diadili tuduhan meracuni kaum muda dan meremehkan dewa Athena.

Metode “Pengadilan Jiwa” di Agora

Setiap hari, di pasar, pelabuhan, atau dekat pohon-pohon zaitun, Socrates menghampiri para pemuda, budak, orang kaya, dan tamu asing. “Hidup yang tak diperiksa tidak pantas dijalani,” kata Socrates dalam Apology (38a). Dengan pertanyaan sederhana—“Apa itu keberanian?”, “Apa itu keadilan?”—ia menyeret lawan bicaranya ke dalam kesadaran bahwa mereka tak pernah benar-benar memikirkan jawaban. Banyak pemuda Athena meniru gaya kritisnya, membuat orang tua mereka geram. Namun perubahan sosial bermula dari kegelisahan itu.

Politik Tanpa Pilih Sisi

Di tengah pertarungan politik antara demokrat dan oligark di Athena, Socrates tidak memilih kubu. Ia menentang dan mendukung kebijakan dari kedua belah pihak—semua berdasarkan uji moralnya sendiri. Ketidakberpihakannya menjadi pedang bermata dua: ia punya sahabat di berbagai faksi, tetapi juga musuh tangguh di semua arah.

Warisan Abadi di Tengah Keraguan

Kisah hidup Socrates—wajahnya yang nyeri mata, gaya hidupnya yang tak biasa, pemikiran kritisnya yang menohok—semua terekam dalam tulisan Plato, Xenophon, dan drama Aristophanes. Meski ia tak pernah menulis sejengkal pun, suaranya hidup dalam warisan filsafat Barat. Patung dan lukisan abad kemudian tak sanggup sepenuhnya menangkap keanehan aslinya, tetapi nyawa dialognya terus menggugah pemikir generasi demi generasi.