Boethius: “Kebahagiaan Sejati Tidak Bergantung pada Hal-Hal Luar, Tetapi Tumbuh dari Dalam Hati”
- Image Creator Grok/Handoko
Bagi Boethius, hal-hal eksternal—seperti kekayaan, jabatan, dan kehormatan—bersifat fana dan tidak bisa menjamin kebahagiaan sejati. Ia menulis bahwa keberuntungan (Fortuna) bersifat labil dan tidak bisa diandalkan. Ketika seseorang menggantungkan kebahagiaannya pada hal-hal luar, maka ia sedang membangun istana di atas pasir.
“Apakah engkau akan menyebut dirimu bahagia hanya karena dipuji banyak orang? Padahal pujian itu bisa berubah menjadi caci maki dalam sekejap,” katanya dalam The Consolation of Philosophy.
Ia mengajak pembaca untuk memusatkan pandangan pada sesuatu yang kekal, yaitu kebajikan, akal, dan Tuhan. Baginya, hanya dengan hidup selaras dengan akal dan kebaikan, seseorang bisa merasakan kedamaian batin.
Antara Akal dan Iman
Salah satu keunikan pemikiran Boethius adalah upayanya memadukan warisan filsafat Yunani-Romawi dengan iman Kristen. Ia meneruskan logika Aristoteles, etika Stoa, dan metafisika Plato—lalu menjembatani semuanya dengan kepercayaan akan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan sejati.
Ia menulis, “Tuhan adalah kebahagiaan tertinggi. Karena itu, siapa yang memiliki Tuhan, memiliki kebahagiaan.”
Bagi Boethius, mengenal Tuhan tidak hanya bisa dicapai lewat wahyu, tetapi juga melalui akal budi. Ia percaya bahwa manusia diberi kemampuan berpikir untuk mengenali kebaikan dan mengejarnya. Kebahagiaan sejati terjadi ketika manusia hidup selaras dengan kodrat rasionalnya dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir.