Masa Lalu yang Menyelamatkan: Mengapa Agustinus Tidak Menyesali Dosanya?

Agustinus dari Hippo (354–430 M)
Sumber :
  • Image Creator Grok /Handoko

Jakarta, WISATA – Banyak orang menjalani hidup dengan beban masa lalu. Penyesalan atas kesalahan, dosa, atau keputusan yang dianggap keliru sering kali membayangi, bahkan membatasi langkah seseorang di masa kini. Namun, berbeda dengan Agustinus dari Hippo, salah satu tokoh besar dalam sejarah filsafat dan teologi Kristen. Dalam Confessiones—karya otobiografi spiritualnya yang legendaris—Agustinus justru menghadirkan narasi unik: ia tidak menyesali masa lalunya, bahkan melihatnya sebagai bagian dari rencana ilahi.

25 Kutipan Terbaik René Descartes, Bapak Filsafat Modern yang Mengubah Dunia Pemikiran

Dosa yang Diakui Tanpa Penyesalan yang Membebani

Agustinus tidak menutupi masa lalunya yang kelam. Ia secara terbuka menceritakan tentang hasrat duniawinya, hidup dalam hubungan di luar pernikahan, dan pencarian kepuasan dalam kenikmatan fisik dan intelektual. Namun, alih-alih menyesali secara destruktif, Agustinus justru mengangkat masa lalunya sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya menuju kebenaran.

René Descartes: “Membaca Buku-Buku yang Baik Ibarat Berbicara dengan Tokoh-Tokoh Besar Masa Lampau”

Dalam Confessiones, ia menulis, "Terlambat aku mencintai-Mu, keindahan yang begitu lama tersembunyi." Kalimat itu bukan sekadar luapan emosi religius, melainkan kesadaran mendalam bahwa Tuhan telah bekerja dalam dirinya bahkan ketika ia belum menyadarinya.

Mengapa Tidak Menyesal?

Menggali Pikiran Plato: Mengapa Sosok Sokrates Mendominasi Dialog-Dialog Filsafat Klasik?

Pertanyaannya, mengapa Agustinus tidak menyesali dosanya dalam arti yang umum kita pahami? Jawabannya terletak pada pandangan metafisik dan teologisnya: bagi Agustinus, seluruh hidup manusia adalah bagian dari kehendak Tuhan yang misterius. Bahkan kejatuhan dalam dosa pun dapat menjadi jembatan menuju pemahaman akan kasih karunia ilahi.

Agustinus tidak meromantisasi dosa. Ia tidak membenarkan kesalahannya. Tapi ia memahami bahwa tanpa mengalami kesesatan, ia mungkin tidak akan pernah merasa lapar akan kebenaran yang sejati. Dalam hal ini, pengalaman buruk menjadi guru yang membimbingnya pada pertobatan sejati.

Halaman Selanjutnya
img_title