Al-Ghazali: "Hati yang Tercerahkan oleh Cahaya Keimanan dan Ditata oleh Akal akan Selalu Menemukan Jalan Menuju Kebaikan
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA - Al-Ghazali, seorang tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam, dikenal sebagai filsuf, teolog, dan sufi yang berhasil menjembatani antara nalar dan iman dalam peradaban Islam. Di antara begitu banyak pernyataan bijaknya, satu kutipan yang merangkum esensi dari perjuangannya dalam menyeimbangkan akal dan hati adalah: "Hati yang tercerahkan oleh cahaya keimanan dan ditata oleh akal akan selalu menemukan jalan menuju kebaikan."
Kutipan ini tidak hanya memiliki keindahan puitis, tetapi juga mengandung kedalaman filsafat spiritual yang menunjukkan pentingnya harmoni antara keimanan dan rasionalitas dalam kehidupan manusia.
Keselarasan antara Akal dan Iman
Bagi Al-Ghazali, akal tidak pernah ditolak. Ia justru menganggapnya sebagai anugerah besar yang dapat membimbing manusia untuk mengenal kebenaran. Namun, akal tidak boleh berjalan sendiri tanpa cahaya keimanan. Jika rasio digunakan tanpa dasar keimanan, maka manusia mudah tersesat dalam kesombongan intelektual yang jauh dari nilai-nilai spiritual.
Sebaliknya, keimanan yang tidak disertai akal akan menjadi buta, rentan pada taklid, fanatisme, dan praktik keagamaan yang kering dari pemahaman. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hati dan akal harus bersatu dalam cahaya. Ketika keduanya terintegrasi, maka kebaikan bukan sekadar kemungkinan, tetapi menjadi arah alami dari perjalanan hidup manusia.
Pembersihan Hati sebagai Syarat Pencerahan
Dalam ajaran tasawufnya, Al-Ghazali banyak menekankan pentingnya tazkiyatun nafs, atau pembersihan jiwa. Hati yang dipenuhi oleh syahwat, kesombongan, dan kebencian akan sulit menerima cahaya keimanan. Maka, proses muhasabah (introspeksi) dan mujahadah (perjuangan diri) menjadi langkah penting untuk menyucikan batin.