5 Hal yang Harus Diwaspadai dari Propaganda Kaum Sofis dari Era Yunani Hingga Era Modern
- Image Creator Grok/Handoko
Di era digital, retorika emosional sering kali menjadi senjata dalam propaganda politik. Politisi dan influencer menggunakan bahasa yang dramatis dan visual yang menarik untuk membangkitkan perasaan marah, bangga, atau takut. Contohnya, dalam kampanye politik Amerika Serikat, slogan-slogan yang menimbulkan rasa nostalgia atau ketakutan sering digunakan untuk menggalang dukungan. Hal ini juga terlihat pada kampanye di negara lain, seperti India dan Filipina, di mana narasi emosional digunakan untuk menciptakan identitas kelompok yang kuat.
Data dari Reuters Institute Digital News Report (2024) menunjukkan bahwa konten dengan elemen emosional memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk menjadi viral dibandingkan konten yang bersifat faktual. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penggunaan emosi berlebihan dapat mengalihkan perhatian dari fakta-fakta objektif dan mengarahkan masyarakat pada keputusan yang didasarkan pada perasaan semata.
3. Pembentukan Narasi "Kita vs. Mereka"
Salah satu ciri khas propaganda yang terinspirasi oleh sofisme adalah penciptaan narasi dikotomi yang membagi masyarakat menjadi "kita" versus "mereka". Teknik ini sangat efektif dalam membangun loyalitas dan menggalang dukungan karena menciptakan rasa identitas dan kebersamaan di antara kelompok tertentu.
Pada era Yunani Kuno, kaum sofis sering mengajarkan calon pemimpin untuk menyusun argumen yang memposisikan diri mereka sebagai perwakilan sejati rakyat, sedangkan lawan dianggap sebagai bagian dari elite yang korup atau tidak peduli terhadap kepentingan masyarakat. Di era modern, narasi serupa diadopsi oleh politisi populis untuk memecah belah dan mengkonsolidasikan dukungan.
Contohnya, dalam politik Amerika Serikat, retorika yang menekankan perpecahan antara "rakyat biasa" dan "elit politik" sering digunakan untuk memobilisasi dukungan, meskipun data dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa polarisasi politik telah meningkat secara signifikan, mengakibatkan ketidakstabilan sosial dan politik.
Pembentukan narasi "kita vs. mereka" tidak hanya menguatkan basis dukungan, tetapi juga mengurangi kemungkinan dialog konstruktif antar kelompok, yang pada akhirnya merusak proses demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sofisme dalam propaganda tidak hanya berdampak pada opini, tetapi juga pada struktur sosial dan politik masyarakat.