Perdebatan Abadi: Pandangan Aristoteles dan Ibnu Sina tentang Jiwa dan Kebahagiaan

Aristoteles di Tengah Murid-muridnya (ilustrasi)
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Jakarta, WISATA - Dalam dunia filsafat, pertanyaan tentang jiwa dan kebahagiaan telah menjadi tema sentral selama berabad-abad. Aristoteles, filsuf besar Yunani, dan Ibnu Sina, salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, masing-masing memberikan kontribusi mendalam terhadap diskusi ini. Meski berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, keduanya memiliki pandangan yang menarik tentang apa itu jiwa, bagaimana jiwa bekerja, dan bagaimana kebahagiaan sejati dapat dicapai. Perbedaan dan persamaan antara kedua filsuf ini memunculkan diskusi yang relevan hingga saat ini.

Menggali Filosofi Hidup Bermakna: Pelajaran dari Aristoteles dan Kebijaksanaan Para Filsuf Muslim

Aristoteles: Jiwa Sebagai Esensi Kehidupan

Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai prinsip kehidupan (psyche) yang mendasari semua makhluk hidup. Dalam De Anima, ia menggambarkan jiwa sebagai substansi yang memberikan fungsi kepada tubuh. Jiwa manusia memiliki tiga bagian utama:

  1. Jiwa Vegetatif: Bertanggung jawab atas fungsi dasar seperti makan dan reproduksi.
  2. Jiwa Sensitif: Mengontrol persepsi dan respons terhadap lingkungan.
  3. Jiwa Rasional: Unik pada manusia, memungkinkan berpikir logis dan refleksi moral.
Mengapa Socrates Dihukum Mati? Pelajaran dari Pengadilan yang Mengubah Dunia Filsafat

Bagi Aristoteles, kebahagiaan (atau eudaimonia) adalah tujuan akhir kehidupan manusia. Kebahagiaan dicapai dengan menjalani hidup yang sesuai dengan kebajikan (arete) dan memaksimalkan potensi jiwa rasional. Ia menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan, yang ia sebut "jalan tengah" (golden mean), sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan sejati.

Ibnu Sina: Integrasi Jiwa dan Kebahagiaan dalam Perspektif Islam

Warisan Socrates: Dari Yunani Kuno hingga Perjuangan Kebebasan Ekspresi di Dunia Modern

Ibnu Sina, atau Avicenna, mengambil inspirasi dari Aristoteles tetapi mengembangkan pandangannya sesuai dengan tradisi Islam. Dalam Kitab al-Nafs dan Al-Isharat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina menguraikan teori jiwa yang lebih kompleks. Ia membagi jiwa manusia menjadi tiga komponen utama yang mirip dengan Aristoteles, tetapi ia juga menambahkan elemen metafisika dan spiritual:

Halaman Selanjutnya
img_title