Haruskah Pemimpin Menjadi Kejam? Pandangan Machiavelli yang Kontroversial
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Nama Niccolò Machiavelli mungkin langsung memunculkan gambaran tentang tipu daya, manipulasi, dan politik tanpa belas kasihan. Filosof dan diplomat asal Italia ini, melalui karyanya yang paling terkenal, Il Principe (Sang Pangeran), seringkali dipandang sebagai penulis yang mendukung penguasa untuk bertindak kejam demi mencapai tujuan politik. Namun, apakah benar penguasa harus bersikap kejam untuk sukses, seperti yang disarankan Machiavelli?
Kepragmatikan Machiavelli: Antara Etika dan Kekuasaan
Machiavelli hidup pada masa Renaisans di Italia, ketika perebutan kekuasaan dan intrik politik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di tengah situasi tersebut, Machiavelli menawarkan sebuah perspektif yang berbeda. Dalam Il Principe, ia tidak menyarankan penguasa untuk menjadi kejam tanpa sebab, melainkan untuk mengambil langkah-langkah pragmatis yang diperlukan demi kelangsungan negara. Baginya, politik adalah dunia yang keras, di mana moralitas tradisional tidak selalu bisa diterapkan.
Machiavelli mengajukan pertanyaan mendasar: apakah lebih baik bagi seorang penguasa untuk ditakuti atau dicintai? Jawabannya mengejutkan banyak pihak, karena ia berpendapat bahwa lebih baik ditakuti daripada dicintai jika penguasa harus memilih salah satu. Alasannya sederhana, rasa takut lebih bisa diandalkan untuk menjaga ketertiban dan mencegah pemberontakan, sementara cinta bisa menghilang sewaktu-waktu.
Namun, perlu diingat bahwa Machiavelli tidak menyarankan penguasa untuk menjadi kejam tanpa alasan. Dia memperingatkan bahwa penguasa yang berlebihan dalam menggunakan kekerasan atau tindakan kejam tanpa tujuan yang jelas akan kehilangan dukungan rakyatnya.
Data tentang Kepemimpinan Otokratis: Apakah Kejam Menjamin Sukses?
Dalam dunia modern, teori Machiavelli masih relevan, terutama di kalangan para pemimpin otoriter yang menggunakan kekuatan dan intimidasi untuk mempertahankan kendali. Menurut laporan dari Freedom House, pada tahun 2023, hanya 20% dari populasi dunia yang hidup di negara-negara yang sepenuhnya bebas. Sisanya, lebih dari 80%, hidup di bawah rezim yang sebagian besar menggunakan taktik otoriter atau semidiktator.