Mengupas Buku Pedagogy of the Oppressed – Paulo Freire: Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan

"Pedagogy of the Oppressed" – Paulo Freire
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Dalam sejarah pemikiran pendidikan dunia, tidak banyak buku yang mampu mengguncang sistem secara fundamental seperti Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire. Buku ini bukan hanya mengulas teori pendidikan, tetapi juga menjadi manifesto pembebasan bagi mereka yang tertindas—baik secara ekonomi, politik, maupun sosial.

Paulo Freire: “Mereka yang mengajar harus terus belajar. Mereka yang belajar harus terus mengajar.”

Ditulis pada tahun 1968 dan pertama kali diterbitkan dalam bahasa Portugis, buku ini lahir dari pengalaman nyata Freire dalam mendidik kaum miskin dan buta huruf di Brasil. Namun, gagasannya melampaui batas-batas geografis dan budaya. Pedagogy of the Oppressed menjadi bacaan wajib bagi pendidik, aktivis, akademisi, dan siapa pun yang percaya bahwa pendidikan bukanlah alat penjinakan, melainkan alat perubahan.

Siapa Paulo Freire?

Plato: “Penyair Mengucapkan Hal-hal Besar dan Bijak yang Tidak Mereka Pahami Sendiri” — Ketika Kata Melampaui Kesadaran

Paulo Freire adalah seorang filsuf dan pendidik asal Brasil yang dikenal karena pemikirannya yang revolusioner tentang pendidikan. Ia lahir pada 19 September 1921 di Recife, Brasil. Masa kecilnya yang penuh kemiskinan membuatnya memahami langsung penderitaan rakyat jelata. Pengalaman ini membentuk perspektif kritisnya tentang ketidakadilan sosial.

Freire mengembangkan metode pengajaran yang menekankan pada dialog, kesadaran kritis (conscientização), dan partisipasi aktif. Bagi Freire, pendidikan harus membebaskan manusia, bukan menindas atau membatasi cara berpikir mereka.

Paulo Freire: “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah orang, dan oranglah yang mengubah dunia.”

Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan

Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menolak model pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai banking concept of education. Dalam model ini, siswa dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru. Guru menjadi satu-satunya sumber kebenaran, sementara siswa hanya menerima dan menghafal informasi tanpa mempertanyakan.

Menurut Freire, model pendidikan seperti ini hanya melanggengkan penindasan. Ia menciptakan istilah pendidikan bank untuk menggambarkan situasi di mana siswa dipandang pasif, tidak kritis, dan tidak memiliki kontrol atas proses belajar.

Sebaliknya, ia menawarkan pendidikan sebagai praktek kebebasan—proses di mana siswa dan guru sama-sama belajar, bertanya, dan tumbuh bersama. Dalam sistem ini, pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan, tetapi juga membangkitkan kesadaran sosial dan politik.

Dialog sebagai Inti Pembelajaran

Salah satu pilar utama dalam buku ini adalah pentingnya dialog. Freire menegaskan bahwa dialog adalah tindakan manusiawi yang melibatkan cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan. Dalam proses belajar yang dialogis, tidak ada hierarki mutlak antara guru dan murid. Keduanya berperan sebagai subjek yang saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Dialog bukan hanya soal berbicara, tetapi juga mendengarkan dengan penuh empati dan refleksi. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga pencipta pengetahuan. Pendidikan yang dialogis mendorong lahirnya kesadaran kritis, di mana siswa mampu melihat realitas sosial secara jernih dan berani mempertanyakannya.

Kesadaran Kritis: Melawan Penindasan

Freire memperkenalkan konsep conscientização atau kesadaran kritis sebagai inti dari proses pendidikan yang membebaskan. Kesadaran ini adalah kemampuan seseorang untuk memahami realitas sosial, ekonomi, dan politik di sekitarnya, serta mengambil sikap aktif untuk mengubahnya.

Ia percaya bahwa manusia bukanlah makhluk yang terisolasi atau statis, melainkan agen perubahan yang mampu merekonstruksi dunia. Dalam konteks ini, pendidikan harus memampukan individu untuk mengenali bentuk-bentuk penindasan dan menumbuhkan keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Freire menyatakan, “Menjadi manusia sejati berarti menjadi sadar, kritis, dan terlibat secara aktif dalam mengubah kenyataan sosial yang menindas.”

Peran Guru dalam Pendidikan yang Membebaskan

Dalam sistem pendidikan yang membebaskan, guru tidak lagi menjadi otoritas tunggal. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendampingi siswa dalam proses belajar. Tugas guru bukan untuk mencetak siswa sesuai standar tertentu, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran, kemandirian, dan semangat kritis.

Freire juga menekankan pentingnya keberpihakan guru kepada yang tertindas. Guru harus menyadari bahwa pendidikan tidak netral. Ia bisa menjadi alat penindasan atau pembebasan. Maka, memilih untuk menjadi pendidik berarti memilih untuk berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.

Relevansi Buku Ini di Era Modern

Meski ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, pesan Pedagogy of the Oppressed tetap relevan hingga hari ini. Di tengah sistem pendidikan yang masih banyak mengandalkan ujian, hafalan, dan kurikulum kaku, pendekatan Freire menjadi angin segar yang menekankan pentingnya pembelajaran yang bermakna dan kontekstual.

Buku ini juga sangat relevan dalam konteks ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Pendidikan bisa menjadi alat untuk membebaskan masyarakat dari siklus kemiskinan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan, asalkan dijalankan dengan semangat dialogis dan berpihak pada rakyat.

Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, gagasan Freire memberikan pencerahan: bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, berpikir kritis, dan bertindak demi kebaikan bersama.

Kritik dan Perkembangan Pemikiran Freire

Meskipun sangat berpengaruh, pemikiran Freire juga mendapat kritik. Beberapa pihak menganggap bahwa pendekatannya terlalu ideologis atau sulit diterapkan secara praktis dalam sistem pendidikan formal. Namun, banyak juga yang mengadaptasi gagasan-gagasannya ke dalam bentuk yang lebih fleksibel dan kontekstual.

Bahkan, banyak program pendidikan non-formal, komunitas belajar, dan gerakan sosial di berbagai belahan dunia menggunakan prinsip Freire sebagai dasar pendekatan mereka. Di Indonesia, pendekatan pendidikan alternatif seperti sekolah rakyat, taman bacaan masyarakat, dan komunitas belajar berbasis warga juga terinspirasi dari semangat Freire.

Penutup: Pendidikan sebagai Tindakan Cinta

Pedagogy of the Oppressed bukanlah buku yang sekadar mengajarkan metode mengajar. Ini adalah karya mendalam tentang kemanusiaan, pembebasan, dan cinta. Bagi Freire, pendidikan adalah tindakan cinta yang paling radikal—karena cinta sejati tidak menerima penindasan, tidak tunduk pada ketidakadilan, dan selalu berjuang untuk perubahan.

Membaca dan memahami buku ini bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga mengajak kita untuk merefleksikan peran kita dalam dunia pendidikan. Apakah kita masih menjadi bagian dari sistem yang menindas secara tidak sadar? Atau justru sedang membangun ruang-ruang belajar yang membebaskan?

Paulo Freire telah menunjukkan jalannya. Kini, saatnya kita melangkah.