Sastra sebagai Senjata: Bagaimana Kata-Kata Membongkar Ketidakadilan Sosial

Novel Pulang karya Leila S. Chudori
Sumber :
  • Cuplikan layar

Penulis Perancis Victor Hugo pernah berkata, “Tidak ada yang lebih kuat dari ide yang waktunya telah tiba.” Dalam konteks ini, sastra adalah kendaraan bagi ide-ide tersebut. Ia membebaskan, menyembuhkan, dan menyalakan api perlawanan dalam jiwa manusia.

"Jika Engkau Tidak Berani Bermimpi, Maka Hidupmu Hanya Akan Berjalan Tanpa Arah"

Bahkan ketika pemerintah membungkam, media dikendalikan, dan kebebasan dibatasi—sastra tetap hidup. Ia mengalir dari pena para penulis, berbisik di antara halaman buku, dan menggema dalam benak pembaca yang kritis.

Sastra adalah bentuk perlawanan yang paling halus sekaligus paling kuat. Ia menyusup lewat cerita dan puisi, meruntuhkan tirani melalui imajinasi, dan membongkar ketidakadilan lewat kata-kata. Di tangan sastrawan yang jujur dan berpihak pada kebenaran, sastra menjadi senjata yang tak terbantahkan.

Pramoedya: Setiap Bangsa yang Tidak Mau Menulis Sejarahnya Sendiri Akan Kehilangan Jiwanya

Dalam dunia yang terus berubah dan diwarnai ketimpangan, sastra akan selalu punya tempat penting—bukan sekadar hiburan, tetapi sebagai senjata yang menggerakkan kesadaran dan perubahan.