Kisah Kelam Sastra Indonesia: Mengapa Tetralogi Pulau Buru Karya Pramoedya Dilarang Era Orde Baru

"Bumi Manusia" Karya Pramoedya Ananta Toer
Sumber :
  • Tangkapan Layar

Jakarta, WISATA - Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaris Indonesia, melahirkan Tetralogi Pulau Buru—empat novel monumental yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Karya ini mengisahkan perjalanan Minke, seorang pemuda Jawa, dalam memahami nasionalisme dan ketidakadilan kolonial di masa Hindia Belanda. Namun, di balik besarnya apresiasi sastra Indonesia terhadap karya ini, ada sejarah kelam yang menyelimuti proses kelahirannya, terutama pada masa Orde Baru. Pramoedya ditahan sebagai tahanan politik di Pulau Buru tanpa pengadilan, bersama ratusan tahanan politik lain, dengan tuduhan terlibat dalam kegiatan komunis pada 1960-an.

Dari Bu Kek Siansu hingga Suling Emas: Mengapa Cerita Silat Kho Ping Hoo Begitu Melegenda?

Pada tahun 1970-an, meski dalam kondisi penahanan dan kerja paksa, Pramoedya diperbolehkan menulis kembali, dan dari sanalah lahir tetralogi ini. Novel pertamanya, Bumi Manusia, diterbitkan pada 1980 dan langsung menarik perhatian publik, bahkan mendapat pujian dari Wakil Presiden saat itu, Adam Malik. Sayangnya, hanya berselang satu tahun, pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku ini dengan alasan mengandung ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme. Keputusan ini diikuti oleh pelarangan ketiga novel lainnya.

Tetralogi ini menggambarkan nasionalisme yang tumbuh di tengah penjajahan, dan kritik tajam terhadap penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda serta ketidakadilan sosial di Indonesia. Pemerintah melihat gagasan-gagasan ini sebagai ancaman yang dapat memicu perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Selama masa pelarangan, banyak penulis, akademisi, dan pegiat kebudayaan memprotes keputusan tersebut. Setelah reformasi 1998, pelarangan buku-buku ini dicabut, dan tetralogi ini kembali beredar, mencerminkan kebebasan yang lebih besar bagi karya-karya sastra kritis di Indonesia.

Apa yang Membuat Karya Kho Ping Hoo Terus Dibaca Hingga Kini?

Meskipun Pramoedya menghadapi tekanan besar selama hidupnya, baik dalam bentuk penahanan maupun pelarangan karya-karyanya, dia tetap diakui di tingkat internasional. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa, dan ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Ramon Magsaysay Award dan Hadiah Budaya Asia Fukuoka, sebagai pengakuan atas kontribusinya terhadap sastra dunia dan hak asasi manusia.