Sastra sebagai Senjata: Bagaimana Kata-Kata Membongkar Ketidakadilan Sosial

Novel Pulang karya Leila S. Chudori
Sumber :
  • Cuplikan layar

Sastra di Era Digital: Perlawanan yang Terus Hidup

Membentuk Karakter Melalui Ketidakhadiran Pengalaman: Renungan Filosofis Friedrich Nietzsche

Kini, dengan kehadiran media sosial dan platform digital, suara-suara perlawanan melalui sastra tidak lagi dibatasi oleh penerbit atau media arus utama. Banyak penulis muda Indonesia menggunakan blog, zine, dan Instagram sebagai panggung untuk menyuarakan keresahan sosial.

Puisi pendek, prosa mini, hingga esai reflektif tentang ketidakadilan kini menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan cara ini, sastra kembali menjadi senjata perlawanan yang relevan di era modern.

Albert Camus: “People Hasten to Judge in Order Not to Be Judged Themselves” — Refleksi atas Budaya Menghakimi

Sastra dan Empati Sosial

Yang membuat sastra begitu efektif dalam membongkar ketidakadilan adalah kemampuannya menumbuhkan empati. Ketika pembaca tenggelam dalam kisah seorang anak miskin yang ditolak sekolah, seorang buruh yang dieksploitasi, atau seorang perempuan yang ditindas karena gendernya, maka pada saat itu kesadaran sosial terbentuk.

10 Kutipan Terbaik dari Jane Austen dalam Pride and Prejudice yang Penuh Makna dan Kritik Sosial

Sastra mengajak kita untuk “melihat” dengan hati, bukan hanya dengan data. Dan dalam dunia yang semakin dingin dan transaksional, empati adalah langkah pertama menuju perubahan sosial yang nyata.

Kata-Kata Adalah Tindakan

Halaman Selanjutnya
img_title