Kisah Para Sufi: Rabiah, Perempuan Sufi yang Mengajarkan Bahwa Surga Tak Sepenting Cinta-Nya

Perjalanan Sufi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA — Dalam sejarah panjang spiritualitas Islam, nama Rabiah al-Adawiyah melambung sebagai sosok perempuan sufi yang menyalakan obor cinta ilahi di tengah dunia yang masih banyak terjebak dalam takut akan neraka dan harap akan surga. Dengan kelembutan dan keteguhan hati, Rabiah mengajarkan satu prinsip radikal: mencintai Tuhan bukan karena pahala atau takut siksa, tapi semata karena Dia layak dicintai.

Kisah Para Sufi: Hujjatul Islam, Ketika Al-Ghazali Membuktikan Ruh Lebih Dalam dari Logika

Lahir di Basrah, Irak, sekitar tahun 713 M, Rabiah tumbuh di tengah kemiskinan. Kisah hidupnya diwarnai penderitaan: menjadi yatim piatu sejak kecil, diperbudak, hingga akhirnya dibebaskan karena cahaya spiritual yang terpancar darinya. Namun justru dari lembah-lembah penderitaan itulah Rabiah menapaki jalan ma'rifat, jalan cinta sejati kepada Allah.

Dalam tradisi sufi, Rabiah menjadi simbol dari mahabbah (cinta Ilahi) murni, yang tidak terikat pada keinginan duniawi maupun ukhrawi. Ia sering mengangkat tema cinta dalam doanya. Salah satu doa terkenalnya bahkan menjadi pernyataan cinta paling dalam dalam sejarah mistisisme Islam:

Abu Hamid Al-Ghazali: Penempuh Jalan Gelap yang Menemukan Cahaya Tasawuf

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di dalamnya.
Dan jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, jauhkan aku darinya.
Tetapi jika aku menyembah-Mu hanya karena Engkau layak disembah, maka janganlah Engkau sembunyikan wajah-Mu dariku.”

Doa tersebut mengguncang banyak tokoh sufi dan ulama pada masanya, bahkan hingga kini. Ia mendobrak cara pandang umat beragama yang terlalu terikat pada hitung-hitungan pahala dan dosa. Bagi Rabiah, cinta kepada Tuhan harus tanpa syarat.

Kisah Para Sufi: Ruzbihan Baqli, Sufi yang Menulis dengan Air Mata dan Cinta Mendalam

Mistikus Perempuan di Dunia Lelaki

Apa yang membuat Rabiah menonjol tak hanya ajarannya, tetapi juga statusnya sebagai perempuan di tengah dominasi pemuka sufi laki-laki. Di era di mana suara perempuan seringkali tenggelam dalam budaya patriarki, Rabiah muncul sebagai mercusuar spiritualitas yang tak dapat diabaikan. Ia tidak menikah, bukan karena membenci institusi pernikahan, melainkan karena hatinya telah penuh oleh cinta kepada Allah.

Halaman Selanjutnya
img_title