Shenzhen Menyalip Guangzhou: Pelajaran Penting dari Revolusi Kendaraan Listrik di Tiongkok
- https://cleantechnica.com
Jakarta, WISATA - Pada era Victoria, kritik terhadap pemerintah tidak bisa dilakukan secara terbuka. Para satiris seperti Gilbert dan Sullivan menggunakan lokasi eksotis dalam karya mereka untuk menyindir pemerintahan Ratu Victoria secara terselubung. Misalnya dalam opera The Mikado yang berlatar di Jepang, namun sebenarnya merupakan sindiran tajam terhadap kekonyolan birokrasi dan kemunafikan sosial Inggris kala itu.
Apa hubungan kisah itu dengan Revolusi Kendaraan Listrik (EV Revolution)? Bersabarlah, karena pelajaran penting segera datang dari Tiongkok — tepatnya dari dua kota: Guangzhou dan Shenzhen.
Guangzhou: Raksasa Lama yang Kian Meredup
Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong dan selama bertahun-tahun dikenal sebagai pusat produksi otomotif terbesar di Tiongkok, dulunya sangat bergantung pada kerja sama dengan produsen mobil asing seperti Toyota, Honda, dan Nissan. Ketiga produsen asal Jepang ini terkenal menolak transisi ke mobil listrik berbasis baterai (BEV). Sebaliknya, mereka memilih mengembangkan teknologi sel bahan bakar hidrogen yang ternyata gagal secara komersial.
Di sisi lain, Toyota dan kawan-kawan juga menggantungkan harapan pada mobil hybrid konvensional. Meskipun strategi ini sempat sukses di beberapa pasar seperti Amerika Serikat, di Tiongkok mereka gagal mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang mulai meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil.
Hasilnya? Pada 2024, produksi mobil di Guangzhou turun 20 persen menjadi 2,5 juta unit. Sementara itu, konsumen Tiongkok semakin memilih merek lokal yang fokus pada kendaraan listrik penuh dan hybrid plug-in.
Shenzhen: Simbol Kemenangan Revolusi Kendaraan Listrik
Shenzhen, kota yang berdekatan dengan Hong Kong, menjadi pusat Revolusi EV. Kota ini adalah rumah bagi BYD, perusahaan otomotif yang berhenti memproduksi kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE) pada 2022 dan sepenuhnya berfokus pada mobil listrik dan hybrid plug-in.
Transformasi itu berbuah manis. Pada 2024, produksi kendaraan di Shenzhen melonjak 65 persen menjadi 2,9 juta unit, menjadikannya kota dengan produksi otomotif terbesar di Tiongkok, menggeser posisi Guangzhou.
Pertumbuhan pesat ini juga berdampak pada ekonomi. Ekonomi Shenzhen tumbuh lebih dari dua kali lipat dibanding Guangzhou, yang hanya mencatat pertumbuhan 2,1 persen — paling rendah di antara 19 kota besar Tiongkok.
Dampak Sosial: Nasib Para Pekerja Industri Otomotif
Perubahan drastis ini tidak hanya berdampak pada angka produksi, tetapi juga pada nasib manusia di balik industri tersebut. Zhang, mantan karyawan produsen elektronik Amerika yang menjadi pemasok Honda dan Tesla, kehilangan pekerjaannya akibat penurunan permintaan. Kini, ia menjadi pengemudi Didi (layanan ride-hailing), begitu juga saudaranya yang pernah bekerja di perusahaan komponen otomotif Jepang.
Bahkan ketika Honda akhirnya mulai memproduksi mobil listrik di Guangzhou, kapasitasnya terbatas (120.000 unit per tahun), dan proses produksinya otomatisasi penuh — menggantikan tenaga manusia dengan robot.
Zhang menggambarkan realitas baru yang pahit: "Dulu, pekerjaan ini bergaji tinggi dan memberi tunjangan seperti perumahan karyawan. Hari-hari itu sudah berlalu."
Pelajaran untuk Dunia: Jangan Jadi Guangzhou
Apa pelajaran terbesar dari kisah ini? Transisi ke kendaraan listrik adalah gelombang besar yang akan mengubah lanskap industri global. Negara yang gagal mengantisipasi perubahan ini akan tertinggal — seperti Guangzhou.
Langkah-langkah proteksionis seperti tarif impor tidak akan menyelamatkan mereka, justru akan memperburuk situasi. Pemerintah yang cerdas seharusnya mendorong pengembangan rantai pasok domestik untuk teknologi kendaraan listrik dan mengedukasi masyarakat agar beralih ke kendaraan ramah lingkungan.
Namun, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, pemerintah justru menentang perubahan ini. Mereka menghentikan pembangunan infrastruktur pengisian daya listrik dan mencoba menarik kembali pendanaan publik untuk proyek EV. Ironisnya, ini semua didorong oleh tekanan dari industri bahan bakar fosil.
Dengan kata lain, Amerika Serikat bisa saja menjadi seperti Guangzhou — dulunya raksasa manufaktur, namun kini terancam menjadi tidak relevan karena gagal beradaptasi dengan kenyataan pasar.
Siapa yang Akan Menjadi Shenzhen Selanjutnya?
Seperti dikatakan Shakespeare: "Ada pasang dalam urusan manusia yang, bila diambil saat memuncak, membawa kepada keberuntungan." Gelombang besar Revolusi EV saat ini adalah pasang yang sedang memuncak. Negara atau kota yang gagal memanfaatkannya akan terseret ke perairan dangkal dan penuh kesengsaraan.
Amerika Serikat, atau negara mana pun yang masih memuja kendaraan SUV besar pengkonsumsi bahan bakar fosil, harus segera sadar dan mengikuti arus perubahan. Jika tidak, mereka akan kehilangan peluang dan menghadapi krisis ekonomi dan lingkungan yang jauh lebih besar di masa depan.
Pertanyaannya sekarang: siapa yang akan menjadi Shenzhen berikutnya?