Menyingkap Paradoks Socrates dalam Dialog-Dialog Plato: Antara Konsistensi dan Kontradiksi
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA — Sosok Socrates yang kita kenal melalui karya-karya Plato ternyata bukanlah sosok yang sepenuhnya konsisten dan terpadu. Justru, dalam berbagai dialog Plato, tokoh Socrates seringkali tampil dengan pandangan yang saling bertentangan, baik dalam isi maupun metode pendekatannya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai Socratic Problem — sebuah tantangan filosofis yang hingga kini belum menemukan titik terang final.
Meskipun banyak kalangan berharap bisa memahami pemikiran Socrates hanya dari dialog-dialog Plato, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dalam satu dialog, Socrates membela sebuah posisi; sementara dalam dialog lainnya, ia justru menyerangnya. Ia juga menggunakan pendekatan yang berbeda-beda — dari yang sekadar membongkar kebingungan lawan bicaranya, hingga yang secara aktif menawarkan teori dan metode baru dalam filsafat.
Sebagai contoh nyata, dalam dialog Parmenides, Plato menghadirkan Socrates yang secara eksplisit mengkritik teori bentuk (Theory of Forms) — sebuah teori yang sebelumnya ia bela habis-habisan dalam Republic, Symposium, dan Phaedo. Di sisi lain, dalam Laches, Socrates hanya berperan sebagai “penyiang kebun”, menghapus pandangan yang keliru tanpa menggantikannya. Namun di Phaedrus, ia menjadi seorang “penanam”, yang menanamkan ide-ide baru dan menyarankan cara-cara pengujian filosofis atas ide tersebut.
Kontradiksi ini tidak hanya terjadi dalam hal besar, tapi juga dalam pernyataan-pernyataan kecil. Dalam Gorgias, Socrates menolak hedonisme, sedangkan dalam Protagoras, ia justru mendukungnya. Pandangannya tentang hubungan antara cinta erotik dan kehidupan yang baik juga mengalami perubahan antara dialog Phaedrus dan Symposium. Bahkan, penjelasannya tentang hubungan antara pengetahuan dan objek pengetahuan dalam Republic sangat berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam Meno.
Salah satu kontradiksi paling mencolok muncul dalam sikap Socrates terhadap hukum. Dalam Crito, ia menegaskan komitmennya terhadap hukum Athena dan bersedia menerima hukuman mati sebagai bentuk kepatuhan terhadap negara. Namun, dalam Apology, Socrates menyatakan secara terbuka bahwa ia akan mengabaikan perintah hukum jika hal itu berarti ia harus menghentikan aktivitas filosofisnya.
Yang menarik, beberapa dialog Plato bahkan memperlihatkan pengaruh pemikiran dari tradisi filsafat lain. Misalnya, Theaetetus memuat elemen-elemen yang mengingatkan kita pada ajaran Heraclitus, sedangkan Phaedo mencerminkan pengaruh Pythagoreanisme yang kuat.
Persoalan inilah yang telah menjadi fokus kajian filsafat selama lebih dari tiga abad. Banyak filsuf telah mencoba memetakan, menyusun kronologi, atau membedakan mana Socrates historis dan mana yang merupakan “karakter dramatis” Plato. Namun hasilnya tetap menyisakan pertanyaan mendasar: apakah kita bisa memahami siapa sebenarnya Socrates hanya dari tulisan Plato?