Plato Mengelus Dada, Jepang Melaju, Indonesia Masih Sibuk Berdebat

Jepang, Indonesia, dan Plato
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Pernahkah Anda mendengar pepatah yang mengatakan, "Kepemimpinan yang bijak adalah hasil dari pemikiran yang matang"? Saya rasa ini adalah kalimat yang mungkin sering kita dengar, tetapi apakah benar-benar kita jalankan? Beberapa waktu yang lalu, saya tertarik dengan pemikiran Plato, seorang filsuf besar Yunani, yang mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah yang memiliki kebijaksanaan dan keadilan. Sayangnya, pemikiran itu seolah terlupakan begitu saja di tengah hiruk-pikuk dunia politik kita. Ketika Plato mengelus dada, Jepang justru melaju pesat, sementara kita di Indonesia masih sibuk berdebat tentang siapa yang lebih viral di media sosial.

25 Kutipan Terbaik Plato yang Diambil dari Phaedrus dan Keindahan Jiwa

Pernahkah Anda merasa bahwa debat politik kita kadang lebih mirip kontes popularitas daripada diskusi soal kualitas pemimpin? Tidak jarang saya merasa seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan besar di mana orang-orang sibuk menunjuk yang paling terkenal, bukan yang paling kompeten. Sementara itu, negara-negara seperti Jepang, yang secara budaya sangat menjaga kedisiplinan dan memilih pemimpin dengan prinsip yang jelas, terus melaju tanpa banyak hingar-bingar. Apa yang salah dengan kita?

Sebagai contoh, jika kita melihat Jepang, pemimpin mereka sering kali muncul dari proses yang sangat selektif. Tidak hanya soal popularitas atau status, tetapi lebih pada kemampuan dan rekam jejak yang jelas. Di sisi lain, di Indonesia, saya kadang merasa seperti berada dalam sebuah arena pertarungan, di mana yang terpilih bukan selalu yang terbaik, tetapi yang paling “terkenal.” Ini tentu saja bukan hanya masalah teknis, tapi juga budaya politik yang sudah mengakar.

Karya Sastra dari Plato – Yunani (427–347 SM): Sastra sebagai Jalan Menuju Kebenaran

Saya teringat beberapa waktu yang lalu, sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan debat panas antara dua calon pemimpin. Bukannya membahas solusi untuk masalah yang lebih besar, seperti kemiskinan atau pendidikan, mereka lebih banyak berbicara tentang siapa yang lebih sering muncul di televisi. Sungguh menggelikan, bukan? Dan Plato, jika dia masih hidup, mungkin hanya bisa mengelus dada melihat apa yang terjadi.

Sebagai bangsa, kita tentu harus merenung sejenak. Apakah kita lebih memilih pemimpin yang bisa membawa negara maju dengan ide-ide cemerlang dan kebijakan yang tepat, atau kita lebih tertarik pada seseorang yang terkenal hanya karena kemampuan mereka menarik perhatian di media? Pemimpin yang bijaksana tidak hanya dilihat dari seberapa banyak mereka dikenal, tetapi juga dari seberapa banyak mereka dapat memberikan manfaat bagi negara dan rakyatnya.

Sastrawan Filsuf yang Karyanya Banyak Menjadi Inspirasi Masyarakat Dunia

Lihatlah Jepang. Negara yang terkenal dengan kedisiplinannya ini telah lama terbukti mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berwawasan luas, tetapi juga memiliki kemampuan teknis dan strategis untuk memajukan negara. Pemilihan pemimpin di Jepang lebih didasarkan pada kinerja dan keseriusan dalam bekerja untuk negara. Di sana, calon pemimpin lebih banyak diuji dengan soal-soal besar, bukan soal apakah mereka mampu menghibur massa dengan pidato-pidato bombastis yang tak menyentuh kebutuhan rakyat.

Kembali ke Indonesia, saya sering berpikir, apa yang terjadi dengan sistem politik kita? Di mana keutamaan kualitas pemimpin yang mampu membawa perubahan positif? Apakah kita sudah terlalu terjebak dalam dunia maya, di mana segala sesuatu bisa dibangun dengan citra semata? Apakah kita benar-benar memikirkan nasib bangsa ini, atau hanya sekedar ingin menikmati sensasi dari pertarungan politik yang sering kali lebih mengarah ke dramatisasi?

Halaman Selanjutnya
img_title