Dedolarisasi oleh BRICS: Strategi Baru atau Ancaman bagi Hegemoni Dolar?

Menteri Luar Negeri Sugiono dalam Pertemuan KTT BRICS di Kazan
Sumber :
  • Kementerian Luar Negeri RI

Jakarta, WISATA - Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) telah menggemakan rencana untuk mengurangi ketergantungan dunia pada dolar AS. Proyek ini dikenal sebagai dedolarisasi, yang bertujuan untuk mengubah sistem perdagangan internasional dengan mengurangi peran dominan dolar Amerika Serikat. Namun, pertanyaannya adalah apakah dedolarisasi ini merupakan strategi baru yang sah untuk memperkuat posisi negara berkembang, atau justru menjadi ancaman bagi tatanan ekonomi global yang sudah mapan, yang didominasi oleh dolar AS? Artikel ini akan menganalisis rencana dedolarisasi BRICS, implikasinya terhadap ekonomi global, serta dampaknya bagi Indonesia.

Kebijakan Proaktif Presiden Prabowo: Indonesia Siap Hadapi Tantangan Global

Latar Belakang: Dolar AS sebagai Mata Uang Dominan

Selama lebih dari 70 tahun, dolar AS telah mendominasi sistem keuangan global. Mata uang ini digunakan dalam hampir 60% cadangan devisa dunia, sementara sekitar 80% perdagangan internasional dilakukan dengan dolar. Posisi dolar sebagai mata uang utama di pasar global tidak hanya menguntungkan Amerika Serikat dalam hal perdagangan dan investasi internasional, tetapi juga memberikan keuntungan politik yang besar, karena negara-negara harus menyimpan cadangan dolar dan menjalankan transaksi internasional dengan mata uang tersebut.

Bertahan di Tengah Badai! Bagaimana Indonesia Jaga Ekonomi Tetap Kuat?

Dominasi dolar ini telah menghadapi beberapa tantangan dalam beberapa dekade terakhir. Negara-negara seperti China dan Rusia telah memperkenalkan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar, baik dalam perdagangan internasional maupun dalam cadangan devisa mereka. Namun, dengan penguatan BRICS, ide untuk melakukan dedolarisasi semakin mendapat perhatian internasional.

Dedolarisasi: Apa Itu dan Mengapa BRICS Melakukan Ini?

Menanti Langkah Indonesia: Bergabung dengan BRICS atau Tetap Bebas?

Dedolarisasi merujuk pada upaya untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi perdagangan dan cadangan devisa. Hal ini termasuk melakukan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal, atau membentuk sistem keuangan alternatif yang tidak bergantung pada dolar AS. BRICS, yang merupakan kelompok negara-negara besar dengan perekonomian berkembang, melihat dominasi dolar AS sebagai hambatan bagi kemajuan ekonomi mereka.

Rencana dedolarisasi ini pertama kali dimulai dengan China, yang mengurangi ketergantungannya pada dolar melalui penguatan yuan (CNY) dan memperkenalkan perdagangan bilateral dalam mata uang lokal. Pada saat yang sama, Rusia juga melakukan hal serupa, dengan memperkenalkan sistem pembayaran alternatif yang disebut SPFS, yang berfungsi sebagai pengganti sistem SWIFT yang didominasi oleh Amerika Serikat.

Namun, inisiatif ini semakin berkembang di BRICS. Pada pertemuan puncak BRICS di 2023, para pemimpin negara-negara anggota membahas lebih lanjut cara-cara untuk memfasilitasi dedolarisasi dalam perdagangan internasional mereka. Salah satu langkah nyata adalah dengan mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan antara negara-negara BRICS. Ini berarti bahwa Brasil dapat bertransaksi dengan China menggunakan real dan yuan, tanpa harus melibatkan dolar AS.

Dampak Dedolarisasi BRICS terhadap Ekonomi Global

Dedolarisasi BRICS berpotensi membawa dampak yang signifikan terhadap ekonomi global. Ada beberapa alasan mengapa upaya ini bisa mengubah peta ekonomi dunia.

1. Mengurangi Ketergantungan Global pada Dolar AS

Jika negara-negara BRICS berhasil mempromosikan penggunaan mata uang lokal mereka dalam transaksi internasional, ini bisa mengurangi dominasi dolar. Mengurangi ketergantungan pada dolar dapat membantu negara-negara berkembang menghindari risiko yang terkait dengan fluktuasi nilai tukar dolar, yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi mereka. Dengan lebih banyak transaksi yang dilakukan dalam mata uang lokal, negara-negara ini juga bisa memperkuat mata uang domestik mereka.

2. Peningkatan Kekuatan Ekonomi Negara Berkembang

BRICS memiliki lebih dari 40% populasi dunia dan lebih dari 30% dari PDB global. Jika BRICS berhasil menciptakan sistem pembayaran alternatif yang efektif, ini bisa menjadi alternatif yang kuat bagi sistem keuangan global yang didominasi oleh negara-negara Barat. Ini akan memberikan negara-negara berkembang lebih banyak kendali atas perekonomian mereka, dan mengurangi ketergantungan pada kebijakan ekonomi negara maju.

3. Memperkenalkan Sistem Keuangan Alternatif

Sistem keuangan alternatif seperti sistem pembayaran yang dikembangkan oleh Rusia (SPFS) dan China (CIPS) semakin menarik perhatian negara-negara yang terganggu dengan dominasi SWIFT dan dolar. Sementara sistem SWIFT, yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi internasional, dikendalikan oleh negara-negara Barat, BRICS berupaya memperkenalkan alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap sistem tersebut. Ini bisa memberikan lebih banyak keamanan bagi negara-negara yang merasa terpinggirkan atau terancam oleh kebijakan negara-negara besar.

Namun, di balik manfaat yang bisa didapatkan, ada risiko yang juga harus diperhatikan. Misalnya, transisi menuju sistem pembayaran alternatif yang lebih luas membutuhkan waktu dan investasi besar. Infrastruktur yang mendukung pembayaran antarnegara dalam mata uang lokal juga perlu diperkuat, sehingga BRICS harus menghadapi tantangan besar dalam menciptakan sistem yang stabil dan terpercaya.

Reaksi Dunia terhadap Dedolarisasi BRICS

Seiring dengan rencana dedolarisasi BRICS, beberapa negara besar, terutama Amerika Serikat dan negara-negara anggota OECD, telah memberikan reaksi terhadap perkembangan ini. Sejumlah analis internasional memandang dedolarisasi sebagai ancaman terhadap posisi dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia.

Menurut Reuters, beberapa analis menyebutkan bahwa meskipun upaya BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada dolar menunjukkan potensi perubahan dalam sistem keuangan internasional, tantangan teknis dan politik yang dihadapi oleh negara-negara BRICS bisa menghambat terwujudnya rencana tersebut. Dolar AS masih memiliki keunggulan besar dalam hal stabilitas dan likuiditas di pasar global.

Namun, meskipun demikian, upaya dedolarisasi BRICS membawa peluang baru untuk negara-negara berkembang lainnya yang ingin mengurangi ketergantungan pada mata uang dominan tersebut. Ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia sedang bergerak menuju tatanan ekonomi yang lebih multipolar, di mana berbagai mata uang dan sistem keuangan saling bersaing.

Dampak Dedolarisasi terhadap Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia harus memperhatikan dampak dedolarisasi ini. Indonesia sendiri telah lama tergantung pada dolar AS dalam perdagangan internasional, dan upaya BRICS untuk mengurangi dominasi dolar bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat mata uang rupiah dan mengurangi volatilitas nilai tukar.

Namun, Indonesia juga harus berhati-hati dalam mengelola transisi ini. Meskipun perdagangan dengan negara-negara BRICS dalam mata uang lokal bisa membuka peluang baru bagi Indonesia, tantangan besar tetap ada dalam hal infrastruktur pembayaran dan kestabilan mata uang. Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara memanfaatkan peluang dan melindungi stabilitas ekonomi dalam menghadapi perubahan besar ini.

Apakah Dedolarisasi BRICS Merupakan Strategi Baru atau Ancaman?

Dedolarisasi yang digagas oleh BRICS adalah langkah besar yang dapat mengubah tatanan ekonomi global. Meski ini menawarkan peluang bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, tantangan teknis dan politik yang dihadapi BRICS dalam mewujudkan sistem alternatif yang dapat diterima secara global tetap besar.

Bagi Indonesia, peran negara ini sangat penting dalam menghadapi perubahan ini. Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang muncul dari dedolarisasi, tetapi juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ketidakstabilan yang bisa ditimbulkan oleh transisi menuju sistem keuangan yang lebih terdiversifikasi.