INFO HAJI: Tragedi Armuzna di Haji 2023, Kesaksisan Seorang Jemaah (Bagian 5 - Mina)
- Maman Abdurahman
Jakarta, WISATA – Menyambung kesaksian sebelumnya, berikut ini testimoni seorang jemaah haji Indonesia yang mengalami sendiri, apa yang terjadi selama puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina atau Armuzna, Arab Saudi. Kali ini, kesaksian jemaah haji di Mina. Simak laporan berikut….
Di Mina, seperti juga di Arafah, tenda-tenda berwarna putih memenuhi lokasi ini bagai jamur yang baru mekar di pagi hari.
Tenda di Mina lebih kecil dibanding tenda waktu di Arafah. Di lokasi ini, seperti perkemahan pramuka. Hanya saja ini lebih padat.
Saya dan rombongan tinggal di maktab 43. Di sana banyak berdiri tenda-tenda rombongan lain, berhimpitan. Di bagian kanan depan pintu masuk maktab, ada pos informasi Masyariq. Sebelah kiri ada dapur, tempat memasak konsumsi maktab kami.
Seorang jemaah yang berangkat duluan untuk memastikan tenda rombongan kami bercerita, bahwa kalau tidak cepat menandai tenda, bisa jadi kami tidak kebagian karena harus berebut.
Rombongan kami berbagi tenda dengan rombongan lain yang satu kloter. 45 orang sebelah kiri. 45 orang sebelah kanan. Sangat tidak memadai untuk jemaah berjumlah sekitar 90 orang dengan kasur 60.
Untuk sekedar menyimpan tas saja sudah penuh sesak, apalagi untuk tidur. Akhirnya saya dan beberapa jemaah memilih tidur di masjid di sekitar perkemahan. Perempuan dan lansia diprioritaskan di dalam tenda.
Di masjid pun penuh sesak. Untuk bisa mendapatkan tempat di masjid, saya harus datang lebih awal. Misalnya dari Asar sudah datang ke masjid sampai waktu Isya. Kalau pulang dulu ke tenda, bisa jadi tidak kebagian tempat tidur di masjid.
Sejumlah jemaah haji yang lain memilih menggelar tikar untuk tidur di pinggiran tenda. Ada juga jemaah yang tidur dekat area toilet. Karena di situlah area yang memungkinkan untuk sekedar meluruskan badan.
Di perkemahan ini, ada sejumlah fasilitas seperti toilet, dispenser air panas untuk menyeduh mi atau kopi. Tapi sebagian jemaah yang suka ngopi, air di dispenser tidak terlalu panas. Untungnya ada kran air yang sangat panas yang cocok untuk menyeduh kopi. Lokasi kran ini di dekat dapur.
Toilet di perkemahan di Mina seperti juga di Arafah dan Muzdalifah, perlu mengantre dua, tiga orang. Bagi jemaah perempuan lebih panjang lagi antreannya. Beberapa WC mampet. Sementara tempat buang air kecil masih terbuka sehingga orang yang melewati area toilet itu bisa melihat dengan jelas orang yang sedang buang air kecil.
Selama di Mina, selain mabit, kami melempar jumrah. Yaitu tanggal 10 Zulhijah, kami melempar jumrah Aqabah. Tanggal 11 Zulhijah kami melempar jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Kemudian tanggal 12 kami melempar jumrah lagi yaitu Ula, Wustha dan Aqabah.
Untuk melempar jumrah, saya dan jemaah haji lainnya harus berjalan kaki dari area perkemahan ke area jamarat yang jauhnya sekitar 3-4 km sekali jalan.
Sementara waktu melemparnya diserahkan kepada jemaah sendiri. Ada yang memilih pagi, siang setelah Zuhur. Ada juga yang sore. Saya dan beberapa jemaah memilih lempar jumrah Aqabah pagi. Sedangkan lempar jumrah hari pertama bada Zuhur dan lempar jumrah hari kedua pagi.
Bagi jemaah yang sakit atau sudah sepuh mewakilkan kepada teman satu regu atau kepada ketua regunya.
Setelah melempar jumrah hari kedua, kami segera meninggalkan Mina karena kami memilih nafar awal.
Ketua kloter meminta para jemaah haji kloter 06 untuk segera meninggalkan tenda.
"Ikan sepat - ikan gabus, lebih cepat - lebih bagus," kata ketua kloter berpantun. Para jemaah pun segera meninggalkan tenda. Sementara saat itu matahari sudah mulai terasa ada di atas kepala.
Kami mengular antri menunggu bus ke Haram. Untung saya membawa topi, saya kenakan. Lumayan mengurangi gigitan matahari. Saya tidak bisa membayangkan betapa panasnya para lansia yang tidak memakai Alat Pengaman Diri (APD).
Sambil menjinjing tas dan menggendong tas gemblok saya melipir dan akhirnya masuk ke dalam tenda kosong yang jemaahnya sudah pergi. Akhirnya jemaah lain ikut masuk. Antrean masih panjang, sinar matahari semakin menggigit.
Beberapa saat kami bersembunyi dari kejaran matahari di tenda kosong. Sesekali menyemprotkan air ke muka. Akhirnya kami keluar tenda kosong merangsek ke dekat bus. Masih antre dalam cengkeraman sinar matahari. Saya tidak berani membayangkan bagaimana rasanya para lansia. Mengantre dan ikut berebut bus.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saya hanya bisa membayangkan jika saja menaiki bus diatur sedemikian rupa, bisa jadi tidak perlu berebut dan berdesak-desakan. Waktu itu situasinya persis seperti berebut bus ketika pulang mudik lebaran sekitar tahun 90-an.
Akhirnya kami berhasil menaiki bus menuju hotel, penginapan. Kami akan segera menuntaskan ibadah haji kami dengan melakukan Tawaf Ifadah, Sa'i dan Tawaf Wada, Thawaf perpisahan. Setelah itu kami akan segera menuju Jedah dan bertolak ke tanah air, di Bandara Jedah yang penuh drama. (Habis)
Maman Abdurahman
Jemaah Haji Kloter JKG 06, R-08