Mengenal Simontana Pemantau dan Penjaga Kelestarian Hutan Indonesia
- IG/dit_rpp_pktl
Jakarta, WISATA – Simontana (Sistem Monitoring Hutan Nasional) telah dikembangkan sejak 1990 silam. Awalnya, Simontana dimulai dengan interval enam tahunan untuk menyuplai data berbentuk archive dimulai pada 1990. Setelah itu, interval tiga tahunan dimulai pada 2000 dan interval tahunan sejak 2011 hingga sekarang. Aplikasi ini dikembangkan agar mampu menghasilkan data hutan dengan lebih cepat, akurat, dan disajikan secara transparan sebagai sarana pengawasan data hutan secara berkala.
Simontana adalah teknologi inovatif berbasis satelit, yang membantu menjaga kelestarian hutan Indonesia dengan pemantauan real-time. Kini, langkah menjaga paru-paru dunia semakin kuat dan terukur. Simontana merupakan platform pemantauan terintegrasi yang menampilkan teknologi penginderaan jarak jauh dan terestrial berbasis satelit milik Landsat.
Sebagai tempat penyimpanan data tutupan hutan nasional, Simontana sangat penting untuk pelaksanaan perencanaan kehutanan dan strategi mitigasi iklim. Ketersediaan data secara realtime di Simontana menjadi bekal penting untuk para pemangku kepentingan bagi perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan secara tepat waktu. Terutama dalam upaya Indonesia mengejar target FOLU Net Sink saat2030 mendatang.
Salah satu kunci berkurangnya laju deforestasi hutan Nusantara adalah kehadiran Simontana. Bentuknya berupa aplikasi digital yang dapat diunggah pada platform Google Play Store. Isinya berupa informasi data terkini bagi publik mengenai kondisi dan kawasan hutan di Indonesia. Data pada Simontana di antaranya akan menampilkan acuan kebijakan, invetarisasi lahan dan hutan, indeks kualitas lingkungan hidup, pengendalian deforestasi, penanganan lahan kritis, dan tata kelola hutan primer.
Pada 2015, Simontana dipakai KLHK untuk memantau area bekas karhutla, dan pada 2017, pemantauannya dilakukan secara bulanan. KLHK juga menggandeng Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) guna membuat data change detection untuk produksi penutupan lahan secara semiotomatis. Sejak 2018, untuk menghitung luas lahan terdampak karhutla secara akurat, KLHK mulai menggunakan citra satelit beresolusi tinggi.
Terobosan yang masuk dalam jajaran Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2020 versi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) ini mendapat pujian dari Wakil Sekretaris Jenderal FAO, Maria Helena Semedo. Ia mengatakan, FAO menghargai inovasi Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan. Menurut data FAO, dalam rentang 1990--2020, dunia telah kehilangan 420 juta ha lahan hutan.
Oleh sebab itu, menjaga kelestarian hutan Nusantara sebagai paru-paru dunia menjadi tanggung jawab bersama setiap elemen bangsa. Karena hutan menjadi faktor penting dalam menghadapi perubahan iklim dan dampak ikutan lain jika hutan tidak dipertahankan kelestariannya.