Menghidupkan Kembali Semangat Usaha Mikro: Tantangan dan Harapan untuk Kementerian UMKM

Yoyok Pitoyo Bersama Pelaku UMKM
Sumber :
  • Handoko/istimewa

Jakarta, WISATA - Dalam 100 hari pertama kerja Kementerian Koperasi dan UMKM, berbagai tanggapan dan harapan datang dari pelaku usaha kecil dan mikro di seluruh Indonesia. Yoyok Pitoyo, Ketua Umum KOPITU (Pengusaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia Bersatu), menyampaikan pandangannya tentang pentingnya pemahaman mendalam terhadap kebutuhan pelaku usaha mikro. Menurutnya, kebijakan yang dijalankan selama ini masih kurang menyentuh inti dari permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha kecil, terutama mereka yang berada di sektor informal.

"Usaha mikro adalah denyut nadi perekonomian masyarakat kecil. Namun, banyak dari mereka masih berjuang dengan pendapatan yang sangat terbatas, bahkan jauh di bawah UMR," ungkap Yoyok.

Mengapa Usaha Mikro Perlu Perhatian Khusus?
Usaha mikro sering kali dianggap sederhana, tetapi di baliknya terdapat kompleksitas yang membutuhkan perhatian khusus. Mereka adalah pedagang gerobak, warung kecil, penjual jamu, hingga pedagang pikulan yang tersebar di berbagai sudut kota dan desa. Dalam aktivitasnya, mereka menghadapi berbagai tantangan, mulai dari akses modal yang terbatas hingga persaingan yang ketat dengan produk usaha besar.

Sebagian besar pelaku usaha mikro hanya mendapatkan keuntungan bersih antara Rp1-2 juta per bulan, jumlah yang jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Ketika pekerja formal mendapatkan perlindungan berupa upah minimum, pelaku usaha mikro harus bertahan dengan kondisi serba terbatas tanpa jaminan apa pun.

Program yang Belum Menyentuh Esensi Usaha Mikro
Yoyok Pitoyo mengapresiasi upaya Kementerian UMKM dalam 100 hari pertama, tetapi ia juga menyoroti bahwa sebagian program yang diluncurkan cenderung lebih menyasar usaha kecil menengah yang sudah terstruktur, seperti industri digital dan manufaktur. Ia mencontohkan pelantikan pejabat Eselon I Kementerian UMKM di Tanah Abang, yang menurutnya lebih menyentuh simbol-simbol usaha besar seperti grosir dan retail, yang sebetulnya berada di bawah binaan Kementerian Perdagangan.

"Para pelaku usaha mikro di pedesaan, seperti pedagang pikulan atau warung-warung kecil, belum sepenuhnya mendapatkan perhatian. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian rakyat kecil," ujar Yoyok.

Program-program yang belum sepenuhnya memahami kebutuhan usaha mikro berisiko tidak tepat sasaran. Misalnya, pelatihan tentang digitalisasi mungkin berguna untuk usaha yang sudah mapan, tetapi bagi pedagang tradisional, kebutuhan mereka jauh lebih mendasar, seperti akses ke modal murah atau pelatihan sederhana tentang pengelolaan keuangan.