Refleksi Ibnu Khaldun: Kenaikan PPN 12% dan Risiko Ketidakadilan Pajak di Indonesia
- Islam.co
Jakarta, WISATA - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia menjadi isu hangat di tengah masyarakat. Kebijakan ini menuai beragam reaksi, mulai dari dukungan hingga penolakan keras, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang khawatir akan meningkatnya beban ekonomi. Menarik untuk mengkaji kebijakan ini melalui refleksi pemikiran Ibnu Khaldun, seorang filsuf dan ekonom dari abad ke-14, yang dalam karya monumentalnya, Mukadimah, menyoroti pentingnya keadilan dalam pengelolaan pajak dan dampaknya terhadap stabilitas negara.
Ibnu Khaldun dan Filosofi Pajak
Dalam Mukadimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa keadilan adalah fondasi utama keberlangsungan sebuah negara. Ia menekankan bahwa pajak seharusnya tidak menjadi alat untuk menekan rakyat, melainkan instrumen untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Menurutnya, pajak yang terlalu tinggi akan menurunkan produktivitas masyarakat dan menghambat roda perekonomian. Sebaliknya, pajak yang adil dapat memperkuat ikatan sosial (asabiyah) dan meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
“Ketika pajak dinaikkan secara berlebihan, aktivitas ekonomi akan melemah, pendapatan negara justru menurun, dan stabilitas negara akan terguncang.”
Pandangan ini sejalan dengan kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap kenaikan PPN. Dalam konteks saat ini, kebijakan ini dianggap berpotensi menambah beban ekonomi rakyat, terutama di tengah pemulihan pasca pandemi COVID-19.
Kenaikan PPN dan Dampaknya terhadap Masyarakat
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% mulai diberlakukan pada awal 2025. Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan di Indonesia mencapai 3,27% pada akhir 2024. Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa diperkirakan akan meningkat signifikan, yang berpotensi menekan konsumsi rumah tangga, salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 67% masyarakat merasa khawatir kenaikan pajak akan berdampak langsung pada pengeluaran mereka. Kekhawatiran ini mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan yang dianggap kurang mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat kecil.
Gaya Hidup Mewah Pejabat: Kontras dengan Beban Pajak Rakyat
Di tengah wacana kenaikan PPN, sorotan juga tertuju pada gaya hidup mewah sebagian pejabat publik. Kasus-kasus yang melibatkan pejabat dengan aset dan gaya hidup yang mencolok semakin memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial yang tajam, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa kemewahan di kalangan elit pemerintahan sering kali menjadi tanda awal kehancuran sebuah negara.
“Ketika pejabat negara terjebak dalam kemewahan dan rakyat dibiarkan menanggung beban pajak yang berat, solidaritas sosial melemah, dan negara kehilangan dukungan dari rakyatnya.”
Gaya hidup mewah pejabat tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam konteks kenaikan PPN, hal ini menjadi isu yang sensitif dan dapat memicu protes sosial jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang lebih inklusif.
Belajar dari Refleksi Ibnu Khaldun
Pandangan Ibnu Khaldun memberikan pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia dalam menetapkan kebijakan pajak. Dalam Mukadimah, ia menjelaskan bahwa keberhasilan sebuah negara terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan kebutuhan negara dengan kesejahteraan rakyat. Pajak yang adil bukan hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga alat untuk menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi.
Kenaikan PPN 12% harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung masyarakat kelas bawah dan menengah. Subsidi, insentif usaha kecil, serta pengawasan terhadap pengeluaran negara menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak memperburuk ketimpangan sosial.
Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara. Jika rakyat melihat bahwa pajak mereka digunakan untuk kesejahteraan bersama, kepercayaan terhadap pemerintah dapat meningkat, seperti yang diungkapkan Ibnu Khaldun:
“Kepercayaan rakyat adalah aset terbesar sebuah negara. Ketika kepercayaan itu hilang, negara berada di ambang kehancuran.”
Mengelola Pajak dengan Bijak
Di tengah tantangan ekonomi global dan tekanan domestik, kenaikan PPN menjadi ujian besar bagi pemerintah Indonesia. Kebijakan ini harus dirancang dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat kecil. Dalam jangka panjang, pajak yang dikelola dengan baik dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, bukan penghambat.
Belajar dari Ibnu Khaldun, pemerintah perlu menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam setiap kebijakan, termasuk pajak. Dengan begitu, Indonesia dapat menciptakan stabilitas yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.