Revisi UU ITE 2024: Apakah Ini Akhir dari Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital?

Revisi Undang-undang ITE 2024
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Perubahan yang dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, yang merupakan revisi kedua dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kembali menarik perhatian publik. Sejak pertama kali diberlakukan, UU ITE selalu memicu perdebatan terkait implikasinya terhadap kebebasan berpendapat, terutama di ranah digital. Revisi terbaru ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai pihak, baik dalam mendukung penguatan regulasi maupun kekhawatiran terhadap dampak kebebasan berekspresi.

Kebebasan Berpendapat vs Perlindungan Hukum

Salah satu isu yang paling krusial dalam revisi UU ITE adalah bagaimana regulasi ini dapat menyeimbangkan kebebasan berpendapat dengan perlindungan terhadap pelanggaran hukum di dunia digital. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian menjadi tantangan utama. Namun, revisi UU ITE harus berhati-hati agar tidak mengarah pada kriminalisasi kebebasan berekspresi yang sah.

Terdapat kekhawatiran bahwa pasal-pasal dalam UU ITE masih bersifat "karet", atau kurang jelas dalam definisinya. Ini bisa membuka ruang bagi pihak tertentu untuk menggunakan UU ini sebagai alat membungkam kritik, terutama yang ditujukan kepada pejabat publik atau pihak berwenang. Untuk menghindari hal tersebut, definisi yang lebih jelas terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian sangat diperlukan dalam revisi ini.

Penguatan Perlindungan Data Pribadi

Selain isu kebebasan berpendapat, revisi UU ITE juga membawa perhatian pada perlindungan data pribadi. Di era digital ini, perlindungan data pengguna menjadi salah satu aspek yang sangat penting. Revisi UU ITE diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih kuat, terutama dalam menangani penyalahgunaan data oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Namun, ada kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan revisi UU ITE dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan. Penyelarasan ini akan memberikan kerangka hukum yang lebih komprehensif dalam menjaga data pribadi pengguna dari penyalahgunaan dan pelanggaran.

Keamanan Siber dan Tanggung Jawab Platform

Serangan siber yang semakin meningkat juga menjadi perhatian utama dalam revisi UU ITE. Platform digital, sebagai tempat utama berlangsungnya transaksi dan komunikasi online, perlu lebih bertanggung jawab dalam menangani keamanan siber. Hal ini mencakup tanggung jawab untuk menghapus konten ilegal dan melindungi data pengguna dari ancaman keamanan.

Namun, penting untuk diingat bahwa tanggung jawab yang dibebankan kepada platform digital harus realistis. Jangan sampai kebijakan yang terlalu ketat menghambat inovasi dan perkembangan industri digital. Diperlukan keseimbangan antara pengaturan yang tegas dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekosistem digital.

Menyesuaikan dengan Standar Global

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi tantangan regulasi digital. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri Kominfo, Nezar Patria, revisi UU ITE harus melihat praktik terbaik dari negara-negara lain. Standar global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa dapat dijadikan acuan dalam memperkuat regulasi digital di Indonesia.

Penyesuaian dengan standar global ini juga penting untuk memastikan daya saing Indonesia dalam ekonomi digital internasional. Ketidakselarasan regulasi bisa menyebabkan Indonesia tertinggal dalam persaingan global di bidang teknologi dan inovasi.

Melawan Hoaks dan Disinformasi

Penyebaran hoaks dan disinformasi, terutama melalui media sosial, menjadi salah satu alasan utama revisi UU ITE. Namun, penegakan hukum terkait hoaks sering kali menuai kritik karena dianggap tidak konsisten dan bias. Pemerintah harus memastikan bahwa penegakan hukum terhadap penyebaran hoaks dilakukan secara adil, tanpa menyasar kritik yang sah terhadap kebijakan atau pejabat publik.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan berita bohong harus lebih jelas untuk menjamin penegakan hukum yang tidak membatasi ruang demokrasi. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang bijaksana dalam mengatasi disinformasi, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi masyarakat.

Transparansi dan Keterlibatan Publik

Salah satu kritik utama terhadap proses revisi UU ITE sebelumnya adalah kurangnya keterlibatan publik. UU ITE merupakan undang-undang yang memiliki dampak luas bagi masyarakat digital, sehingga penting untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses revisi, termasuk masyarakat sipil, akademisi, serta pelaku industri teknologi.

Keterlibatan yang lebih luas akan memastikan bahwa UU ITE lebih inklusif dan representatif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu, transparansi dalam proses revisi akan mencegah persepsi bahwa undang-undang ini dibuat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu saja.

Kriminalisasi Kritik

Salah satu kritik terbesar yang terus menghantui UU ITE adalah potensi penggunaannya untuk mengkriminalisasi kritik. Sejak UU ITE pertama kali disahkan, banyak kasus yang menjerat aktivis, jurnalis, dan warga sipil hanya karena menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik.

Pasal-pasal terkait pencemaran nama baik harus diperjelas untuk mencegah penyalahgunaan. Regulasi yang tidak jelas hanya akan menciptakan ketakutan dan membatasi kebebasan berpendapat, yang pada akhirnya merusak demokrasi di Indonesia.

Revisi UU ITE 2024 harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan kebebasan berpendapat dan ruang demokrasi di Indonesia. Di sisi lain, revisi ini juga harus memperkuat perlindungan data pribadi, meningkatkan tanggung jawab platform digital, serta menyesuaikan regulasi Indonesia dengan standar global. Dengan transparansi dan keterlibatan publik, revisi UU ITE diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan inklusif.