Seneca: Bahagia Itu Hidup Sesuai dengan Hakikat Diri Sendiri
- Cuplikan layar
Malang, WISATA - “A happy life is one which is in accordance with its own nature.”
Filsuf Stoik asal Romawi, Lucius Annaeus Seneca, menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika kita menjalani hidup sesuai dengan kodrat kita sendiri. Bukan meniru orang lain, bukan pula mengejar sesuatu yang tak mencerminkan jati diri. Kutipan ini menjadi pengingat penting di tengah dunia modern yang kerap memaksakan standar kebahagiaan yang seragam.
Seneca percaya bahwa setiap manusia memiliki "naturanya" masing-masing. Dalam dunia filsafat Stoik, “nature” bukan hanya soal karakter bawaan, tetapi juga mencakup nilai hidup, tujuan eksistensi, dan peran kita di tengah masyarakat. Maka, hidup yang berbahagia adalah hidup yang setia pada jalur dan hakikat diri, bukan hidup yang dipenuhi tuntutan atau pencitraan.
Menemukan Kebahagiaan Dalam Diri, Bukan dari Luar
Di era digital saat ini, kita hidup dalam masyarakat yang dengan mudah menetapkan standar kebahagiaan. Mulai dari definisi sukses, gaya hidup ideal, hingga bentuk tubuh yang dianggap “normal”. Media sosial memperkuat tekanan tersebut: semua orang tampak bahagia, sukses, dan punya segalanya.
Namun, Seneca mengajak kita untuk kembali ke dalam diri. Ia bertanya secara implisit: apakah kamu benar-benar bahagia, atau hanya berusaha terlihat bahagia?
Menurutnya, kebahagiaan tidak datang dari luar, melainkan dari dalam. Ia bukan soal memiliki banyak uang, status sosial tinggi, atau validasi dari orang lain. Kebahagiaan sejati adalah hasil dari hidup yang selaras dengan nilai-nilai pribadi dan kodrat kita sebagai manusia yang berpikir, sadar, dan bermoral.
Hidup yang Selaras dengan Diri Sendiri
“A happy life is one which is in accordance with its own nature.” Dalam kalimat ini, Seneca menekankan pentingnya kejujuran terhadap diri. Artinya, kita perlu mengenal siapa diri kita, apa yang kita yakini, dan hidup sesuai dengan prinsip itu.
Contoh sederhana: jika seseorang mencintai seni, tapi ia memaksakan diri menjadi pengusaha karena tekanan sosial, besar kemungkinan hidupnya akan penuh kecemasan. Sebaliknya, orang yang mengikuti kata hatinya, walau sederhana hidupnya, bisa merasa lebih damai.
Seneca mengingatkan bahwa hidup yang tidak sesuai dengan kodrat akan membawa penderitaan batin. Kita akan merasa lelah, terjebak, dan kehilangan arah. Namun, begitu kita menemukan harmoni antara diri sejati dan kehidupan sehari-hari, maka ketenangan batin akan muncul secara alami.
Stoikisme dan Keseimbangan Emosi
Stoikisme, aliran filsafat yang dianut Seneca, mengajarkan pentingnya hidup sesuai dengan alam dan rasio. Dalam konteks ini, “alam” tidak hanya berarti lingkungan fisik, tetapi juga struktur batin kita. Menjalani hidup dengan menerima realitas, tidak terjebak dalam emosi yang merusak, serta berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah bagian dari hidup yang sesuai dengan kodrat.
Misalnya, saat kehilangan sesuatu yang kita cintai, Seneca mengajarkan untuk tidak larut dalam kesedihan, tapi menerima dengan lapang dada. Bukan berarti kita tidak boleh merasa sedih, tapi kita tidak boleh membiarkan kesedihan itu menghancurkan kehidupan. Inilah keseimbangan yang ingin dicapai Stoikisme—hidup selaras dengan kenyataan dan keutuhan diri.
Kebahagiaan Tidak Sama dengan Kesenangan
Seneca juga membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan. Kesenangan adalah sensasi sesaat: makan makanan enak, membeli barang mahal, menerima pujian. Tapi kebahagiaan adalah kondisi jiwa yang stabil, tenang, dan tahan terhadap guncangan luar.
Kita bisa saja dikelilingi oleh hal-hal menyenangkan, tapi tetap merasa hampa. Sebaliknya, orang yang hidup sederhana namun setia pada dirinya sendiri bisa merasa utuh dan penuh syukur. Inilah mengapa Seneca mengatakan bahwa orang bahagia adalah orang yang menjalani hidup sesuai kodratnya—karena dari situlah muncul ketulusan, kejujuran, dan kedamaian batin.
Bagaimana Menjalani Hidup Sesuai Kodrat?
1. Kenali Diri Sendiri
Langkah pertama adalah menyadari siapa diri kita. Apa nilai yang kita pegang? Apa yang membuat kita bersemangat? Apa yang kita anggap penting?
2. Hidup Berdasarkan Prinsip
Setelah tahu siapa diri kita, jalani hidup berdasarkan prinsip tersebut. Jangan mudah goyah oleh pendapat orang atau tekanan sosial.
3. Terima Diri dengan Penuh Syukur
Kita tidak perlu menjadi seperti orang lain. Setiap orang punya jalan hidup sendiri. Terima kelebihan dan kekurangan sebagai bagian dari perjalanan.
4. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan
Seneca mengajarkan untuk tidak membuang energi pada hal di luar kendali, seperti opini orang lain, cuaca, atau masa lalu. Fokus pada reaksi dan keputusan pribadi.
5. Sederhana dalam Kehidupan
Kesederhanaan membawa ketenangan. Dengan hidup sesuai kodrat dan tidak berlebihan, kita bisa mengurangi stres dan tekanan yang tidak perlu.
Relevansi Kutipan Ini di Era Modern
Saat ini, banyak orang merasa cemas, kelelahan mental, dan kehilangan arah meski hidup di tengah kemajuan teknologi. Penyebab utamanya adalah ketidaksesuaian antara diri sejati dan gaya hidup yang dijalani. Kita terlalu sering mengejar citra ideal dan lupa siapa diri kita sebenarnya.
Pesan Seneca hadir sebagai penawar dari kegelisahan ini. Ia tidak meminta kita hidup miskin atau meninggalkan teknologi. Ia hanya mengingatkan: jangan sampai kita kehilangan esensi hidup karena terlalu sibuk mengejar yang tampak.
Penutup: Kembali pada Diri, Temukan Kebahagiaan
“A happy life is one which is in accordance with its own nature.”
Seneca menyampaikan bahwa kunci kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang kita miliki, tetapi apakah kita hidup setia pada diri sendiri. Kebahagiaan bukan destinasi, tetapi keadaan jiwa yang tercipta saat kita berhenti membandingkan, berhenti berpura-pura, dan mulai menerima serta menghargai siapa kita sebenarnya.
Maka, dalam dunia yang terus berubah ini, barangkali langkah paling berani adalah menjadi diri sendiri—dan hidup dengannya, dengan jujur, sadar, dan sepenuh hati.