Socrates: Filsuf yang Mengajarkan Cara Hidup lewat Pertanyaan-Pertanyaan Sederhana
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA – Nama Socrates (470–399 SM) tetap harum hingga hari ini. Tidak karena dia menulis ribuan buku atau membuat teori kompleks seperti para filsuf setelahnya, tetapi karena cara sederhana yang ia gunakan: bertanya. Baginya, bertanya bukan hanya alat diskusi, tetapi juga cara hidup.
Kemunculan Sang Pertanyaan Sejati
Di pasar Athena yang ramai, Anda mungkin pernah melihat seorang lelaki tua berdiri di kerumunan, berkacamata sederhana dan wajah tenang. Ia tidak berpidato atau menggurui. Ia hanya bertanya. “Apa itu keadilan?”, “Apa yang membuat seseorang baik?”, “Apakah kita benar-benar tahu siapa diri kita?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjalar ke pikiran siapapun yang hadir, mengajak mereka berhenti sejenak dan kembali berpikir.
Socrates percaya bahwa pertanyaan sederhana inilah yang menciptakan kesadaran. Betapa banyak orang yang menjalani hidup tanpa tahu apa arti “adil” atau “baik” sejati. Lewat bertanya, ia mengajak kita untuk tidak menerima asumsi begitu saja, melainkan menelaah akar pikiran sendiri.
Metode Socratic: Dialog yang Menginsipirasi
Metode yang dipopulerkan olehnya kini dikenal sebagai Socratic Method atau metode pemeriksaan. Socrates tidak pernah ingin memberi jawaban langsung. Ia menantang orang untuk berpikir kritis, mencari kesalahan tersembunyi dalam pemahaman mereka, lalu menyusun argumen yang lebih jelas.
Contoh sederhana: Jika seseorang mengaku “Saya ingin menjadi orang adil,” Socrates akan balik bertanya: “Apa definisi adil menurutmu? Bagaimana kamu mengetahui itu benar?" Dialog berjalan pelan, namun tiadanya jawaban seragam membuat setiap orang melakukan refleksi mendalam.
Pertanyaan Sederhana, Pondasi Kebijaksanaan
Di zaman sekarang, ketika informasi mudah diakses lewat ponsel, kita sering berhenti pada jawaban singkat—misalnya "oke" atau "setuju". Namun Socrates mengajarkan bahwa pertanyaan sederhana seperti “Mengapa?” dan “Bagaimana?” adalah fondasi untuk berkembang.
Bertanya tidak hanya mencegah salah faham, tetapi juga membuka ruang untuk memahami emosi, pandangan, dan pengalaman seseorang. Boyolali, seorang dosen filsafat dari Universitas Negeri Semarang, menuturkan:
“Metode Socratic itu seperti membuka pintu. Kalau satu pertanyaan menemukan jawaban sementara, akan muncul pertanyaan baru yang lebih dalam.”
Metode ini juga relevan dalam pendidikan. Pelajar yang terbiasa diajak berdialog kritis akan lebih mandiri dan kreatif ketimbang yang hanya diajari hafalan.
Melatih Kebebasan Berpikir Sejak Dini
Socrates tidak hanya berbicara di forum umum, tetapi juga mengajar para muridnya, seperti Plato dan Xenophon. Mereka menyerap spiritnya: belajar berpikir sendiri, bertanya, dan menguji segala keyakinan.
Model pendidikan ini mulai merambah Indonesia modern lewat konsep “pembelajaran berpikir kritis” di sekolah. Guru bukan lagi sosok pusat pengetahuan, melainkan fasilitator yang membimbing siswa mengatur argumen sendiri. Hasilnya, siswa jadi tak takut berbeda pendapat, bahkan senang berdiskusi.
Filsafat Sehari-Hari: Bukan Hanya Teori
Socrates tidak mengajar filsafat di atas menara tinggi. Filosofi menurutnya adalah kehidupan yang dijalani dengan kesadaran. Ketika kita bertanya “Mengapa aku marah?”, kita sedang melakukan refleksi diri.
Contoh konkret: seorang ibu muda yang bertanya pada dirinya, “Kenapa saya merasa tidak cukup baik menjadi orang tua?” Maka dari pertanyaan itu timbul introspeksi—dan akhirnya ia terbuka menerima bantuan, membaca sumber terpercaya, dan memperbaiki pola asuh.
Bertanya sederhana juga bisa menyelamatkan kolega dari konflik: "Apa maksudmu?" atau "Bagaimana bila kita menyusunnya ulang?" Dua pertanyaan ini menghentikan debat panas dan memantik solusi produktif.
Menghadapi Hoaks dan Informasi Palsu
Era digital membawa keuntungan dan tantangan. Hoaks sering tersebar karena orang menerima begitu saja. Di sinilah nilai metode Socrates sangat relevan: bertanya kritis.
Seperti yang dikatakan oleh Andi, pengamat literasi digital:
“Socrates mengajarkan ‘jangan percaya sebelum menelah’. Di era hoaks, kita perlu bertanya: ‘Sumbernya dari mana? Apakah nepah satu pihak?’ Itu metode yang sangat simpel tapi kuat.”
Dengan membiasakan diri bertanya sebelum share, kita ikut memerangi misinformasi. Dan bukan cuma menjaga diri, tetapi juga menjaga kualitas diskursus publik.
Tetap Pintar Meski Tanpa Buku
Meskipun Socrates tidak menulis buku, ajarannya sangat terdokumentasi melalui Plato. Namun kekuatan filsafatnya bukan karena karya tulis, melainkan karena semangat dialog. Ia membuktikan bahwa Anda tidak butuh ribuan halaman buku untuk memulai pemikiran besar—cukup satu pertanyaan.
Murti, guru SMA di Bandung, pernah menyampaikan:
“Sejak pakai metode bertanya ala Socrates, nilai debat siswa meningkat tajam. Mereka mulai berani tampil, berani analisis, berani menyanggah argumen dengan santun.”
Kesimpulan: Hidup dengan Banyak Bertanya
Socrates mengajak kita hidup dalam kesadaran: “Kenalilah diri sendiri.” Bukan lewat lecture panjang, tetapi lewat pertanyaan sederhana. Jadikan “Mengapa?” “Bagaimana?” dan “Apa maksudmu?” sebagai kebiasaan.
Dengan pertanyaan sederhana, kita bisa mafhum diri, menyaring informasi, meningkatkan kualitas pendidikan di kelas, bahkan menjaga keutuhan masyarakat. Socrates menunjukkan bahwa hidup yang bijak bukan soal seberapa pintar Anda membaca, melainkan seberapa sering Anda bertanya.